Kabar dari Sekolah Jurnalisme Parboboa: Melatih Critical Thinking dan Kreativitas Anak Muda

Crticial Thinking Bukan Konsep Eksklusif. (Foto: Student Voice)

PARBOABOA, Pematangsiantar - Delapan hari telah berlalu sejak dimulainya Sekolah Jurnalisme Parboaboa angkatan kedua. Selama waktu itu, para peserta yang terdiri dari anak-anak muda telah menyelami berbagai topik. Mulai dari profesionalisme jurnalis, dinamika politik dan kebudayaan, hingga hak-hak masyarakat adat.

Materi demi materi membuka mata akan luasnya medan kerja jurnalistik. Selasa (22/4/2025), mereka diajak masuk lebih dalam—ke inti yang sering tak terlihat namun menentukan segalanya: Critical Thinking.

Kelas pagi itu dipandu langsung oleh Pimpinan Redaksi Parboaboa, P. Hasudungan Sirait, yang akrab disapa Bang Has. Dengan gaya bicaranya yang tenang dan langkah santai, Ia menggiring peserta berpikir lebih jauh dari permukaan. Tak ada batas kaku antara dirinya dengan peserta, hanya percakapan diselingi canda dan cerita-cerita pengalamannya sebagai jurnalis.

Ruang kelas terasa hidup. Para peserta tampak antusias. Bukan karena mereka dipaksa aktif, tetapi karena ruang itu memberi tempat untuk bertanya dan menanggapi. Diskusi mengalir dan pikiran dipancing. Suasana tumbuh seperti yang seharusnya terjadi dalam ruang belajar: membebaskan.

Di tengah derasnya arus informasi, berpikir kritis menjadi keterampilan yang kian mendesak untuk diasah. Apalagi bagi seorang jurnalis yang setiap hari bergulat dengan fakta, opini, dan berbagai kepentingan yang saling bertabrakan.

Bagi Bang Has, berpikir kritis bukan sekadar pelengkap dalam dunia jurnalistik, melainkan fondasi yang harus dimiliki sebelum bicara soal teknik atau keterampilan teknis lainnya.

"Kemampuan berpikir kritis sangat penting dimiliki setiap jurnalis dan penulis. Bahkan dalam profesi lain seperti dosen atau pengajar. Sebab, bagaimana seseorang bisa bertindak dengan baik jika cara berpikirnya sendiri masih kacau?” tuturnya.

Ia mengajak peserta berpikir bersama, menganalisis, dan menyusun ulang kebiasaan dalam menyerap informasi. Tanpa disadari, peserta tengah dilatih untuk bertanya dan menyaring sebelum menyimpulkan.

"Seorang penulis atau jurnalis harus mampu menimbang informasi dengan jernih, agar bisa membuat perkiraan yang masuk akal dan mengambil kesimpulan secara tepat," jelasnya.

Bang Has menyinggung bagaimana sistem pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya memberi ruang bagi kemampuan berpikir kritis tumbuh sejak dini. Di sekolah, anak-anak masih diajarkan menghafal, bukan menelaah.

"Sementara di negara-negara maju, Critical Thinking sebagai pelajaran wajib yang harus diikuti sejak SMP (Sekolah Menengah Pertama)," ujarnya.

Baginya, tantangan dalam mengajarkan kemampuan berpikir kritis bukan terletak pada kapasitas memahami, melainkan pada jarak yang tercipta akibat istilah yang terdengar asing. “Critical thinking” kerap dianggap sebagai konsep eksklusif, padahal ia begitu relevan dengan keputusan-keputusan sehari-hari.

"Itu terjadi karena konsep ini memang tidak banyak diajarkan di sekolah. Namun begitu saya beri contoh yang dekat dengan keseharian, mereka cepat menangkap maksudnya," tambahnya.

Critical Thinking Bukan Konsep Eksklusif

Alih-alih menyampaikan materi dalam bentuk teori yang kaku, Bang Has memilih pendekatan yang mudah dipahami. Salah satunya melalui kisah fiksi tentang Yanto, seorang pemuda yang kehilangan tas kecilnya di Bandara Cengkareng. Dari cerita ini, peserta diajak menghadapi situasi dilematis yang membutuhkan pertimbangan logis sebelum mengambil keputusan.

kls pbb brnynyi

Bernyanyi, Mengembangkan Kreativitas. (Foto: PARBOABOA/Rizal Tanjung)

Respons peserta pun beragam. Ada yang menyarankan Yanto langsung melapor ke petugas, ada yang memilih mencari ke tempat terakhir ia duduk. Di momen itu, Bang Has menyisipkan esensi berpikir kritis, tentang pentingnya menenangkan diri dan memetakan ulang kemungkinan sebelum bertindak.

Contoh semacam ini menjadi jembatan antara konsep dan kenyataan. Peserta tak sekadar memahami definisi, namun juga menangkap bagaimana berpikir kritis bekerja dalam situasi nyata. Dari sini tumbuh kesadaran bahwa berpikir kritis bukan hanya soal kecerdasan, tetapi juga kebiasaan menunda reaksi impulsif.

“Jadi, saya mengajarkannya dengan memberikan contoh-contoh kasus dari keseharian, agar materi Critical Thinking lebih mudah dipahami peserta," tuturnya.

Tanpa membuat kelas terasa berat, Bang Has menghadirkan suasana diskusi yang hidup dan setara. Ia tidak menciptakan jarak agar materi ini masuk tak hanya melalui akal, tetapi juga lewat rasa ingin tahu.

Di tengah materi yang disampaikan, Bang Has menyelipkan sebuah lelucon lama dari Gus Dur untuk mengingatkan peserta akan pentingnya berpikir kritis.

Ia menceritakan sebuah pasar yang menjual otak dari berbagai negara: Rusia, Israel, Amerika, dan Indonesia. Ternyata, otak orang Indonesia yang paling laris, karena jarang dipakai.

Makna di balik lelucon itu sangat jelas. Bang Has ingin mengingatkan peserta bahwa setiap orang memiliki otak yang cerdas, namun seringkali tidak memanfaatkannya dengan maksimal.

"Sebenarnya manusia punya otak yang luar biasa, hanya saja sering kali otak itu tidak digunakan secara maksimal. Makanya, otak orang Indonesia paling laris, karena jarang dipakai. Jadi, gunakanlah otak dengan baik, jangan biarkan itu terbuang begitu saja," ujarnya.

Bang Has ingin mendorong peserta menyadari potensi besar dalam diri mereka dan menggunakannya untuk menghasilkan keputusan tajam dan reflektif. Terutama ketika mereka berkecimpung dalam dunia yang penuh informasi dan perlu disaring dengan hati-hati.

Selain menyampaikan materi tentang berpikir kritis, Ia juga mengajak peserta untuk mengembangkan kreativitas dan percaya diri melalui sebuah aktivitas yang tak terduga: bernyanyi.

Di tengah kelas, peserta dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing terdiri dari empat orang. Mereka diminta bernyanyi bersama. Latihan ini tidak hanya mengasah daya pikir, tetapi juga melatih kesabaran, koordinasi, dan meningkatkan kepercayaan diri.

"Musik memiliki peran penting dalam melatih otak untuk berpikir lebih kreatif dan terstruktur. Bernyanyi melibatkan lebih dari sekadar suara, tetapi juga otak yang melatih kesabaran dan kreativitas dalam berpikir," katanya.

Bahkan Bang Has sendiri ikut dalam kegiatan ini, tampil bernyanyi solo. Kehadirannya di depan kelas, bernyanyi tanpa ragu, menjadi contoh bahwa keterampilan berpikir kritis dan kreativitas bisa muncul dari keberanian.

 

ctt kls pbb

Berpikir Kritis Muncul Dari Keberanian. (Foto: Telkom University)

Ia ingin menanamkan bahwa menjadi seorang jurnalis kritis dan kreatif, tidak hanya mengandalkan logika, tetapi juga keberanian berinovasi dan berpikir di luar kebiasaan. Aktivitas bernyanyi ini sebagai jembatan menghubungkan teori dengan praktik.

Salah satu peserta, Lasria Margaretha Simalango (22), mengaku bagian yang paling membuka wawasannya adalah pemahaman bahwa seorang jurnalis tidak hanya menyampaikan fakta, tetapi juga harus mampu menguji kebenaran.

"Saya jadi paham kalau berpikir kritis bukan hanya soal mempertanyakan, tapi juga bertanggung jawab atas informasi yang disampaikan ke publik. Jurnalis yang tidak berpikir kritis bisa tanpa sadar menyebarkan bias atau hoaks," katanya pada Parboaboa, Selasa (22/4/2025).

Setelah mengikuti kelas, mahasiswa Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar ini merasa perlu berhati-hati dalam mengumpulkan dan menyaring informasi. Ia merasa penting untuk tidak menerima informasi secara mentah, tetapi untuk melatih diri mencari konteks dan sumber.

"Saya akan melatih diri untuk selalu mempertimbangkan sudut pandang lain dan memastikan informasi yang saya tulis akurat dan bertanggung jawab," ujarnya.

Peserta lainnya, Indah Cahyani (19), mahasiswa UIN Sultan Thaha Saifuddin, Jambi, mengungkapkan bahwa salah satu hal yang membuka wawasan adalah pentingnya berpikir kritis.

"Terutama terkait dengan rendahnya IQ orang Indonesia karena berpikir kritisnya jarang dilatih. Materi ini sangat membuka pikiran saya tentang pentingnya berpikir kritis," katanya.

Indah juga mengakui bahwa dirinya termasuk orang yang lemah dalam berpikir kritis. Ia merasa materi seperti ini sangat penting untuk diajarkan di sekolah. Ia merasa beruntung bisa belajar lebih dalam mengenai berpikir kritis.

"Kesempatan yang baik bagi saya bisa belajar berpikir kritis seperti ini. Semoga ini bisa membantu saya berkembang dalam berpikir lebih tajam dan objektif," tutupnya.

Editor: Rin Hindrayati

Editor: Rin Hindrayati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS