Nestapa Pengemudi Ojol di Tengah Monopoli Digital

Seorang pengemudi ojol sedang melintas di jalan Palmerah Timur, Jakarta Barat (Foto: PARBOABOA/Defri Ngo).

PARBOABOA, Jakarta - Sudah satu jam lebih, Darman (42) pengemudi ojek online (ojol) duduk menanti penumpang di kawasan Palmerah Timur, Jakarta Barat. Enam batang kretek tandas di bibirnya yang kering. 

Ayah tiga orang anak itu tak mendapatkan notifikasi satu pun dari penumpang. Meski demikian, ia tetap bersabar menunggu sambil berharap ada pesanan masuk di layar handphone.  

"Begini terus setiap hari. Paling dapat gocap doang. Apalagi kalau libur, ya tahu sendiri kan Mas," ujar Darman saat ditemui PARBOABOA, Jumat (24/05/2025). 

Dengan pendapatan demikian, Darman bilang bahwa sangat tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga. Belum lagi biaya perawatan motor yang membutuhkan dana tak sedikit.

"Jelas gak cukup, Mas. Biaya sekolah anak, konsumsi sehari-hari dan biaya perawatan motor. Oli motor aja sudah 60 ribu sekarang. Kalau gini terus, ya bisa gawat kita," ungkapnya dengan nada berat.

Darman bercerita, lima tahun lalu, pendapatannya dari ojol cukup membantu kehidupan rumah tangga. Dalam sekali narik, ia bisa memperoleh penghasilan hingga Rp. 150.000.

Namun, sejak tahun 2022 silam, penghasilannya menurun drastis. Salah satu penyebab utama dikarenakan pihak aplikator melakukan pemotongan komisi sebesar 20 persen untuk mitra aplikasi ojol.

Keputusan ini tertuang dalam Kepmenhub KP No. 1001 Tahun 2022 yang menetapkan batas maksimal potongan aplikasi sebesar 20 persen untuk mitra aplikasi ojol. 

Meski demikian, di lapangan, Darman mengklaim telah mengalami pemotongan hingga 50 bahkan 70 persen yang jelas membebani penghasilannya, terutama di tengah tingginya biaya operasional sehari-hari.

Dengan jumlah pemotongan demikian, Darman merinci bahwa jika pendapatan sehari mencapai Rp. 100.000, maka total pendapatan bersihnya hanya sebanyak Rp. 80.000.

"Perhitungan kasarnya begitu Mas. Itu karena pihak aplikator motongnya terlalu gede. Sementara tarif yang dibebankan ke konsumen sudah tergolong murah loh," jelas Darman.      

Darman-Pengemudi-Ojol

Darman (42) seorang pengemudi ojol sedang menunggu penumpang di kawasan Palmerah Timur (Foto: PARBOABOA/Defri Ngo)

Ia mengaku sangat keberatan dengan kebijakan tersebut. Belum lagi, terdapat beban biaya lain yang mencakup platform fee dan potongan khusus atas fitur-fitur prioritas seperti aceng (ambil cepat) dan slot.

"Ini sangat membebankan kami. Bayangkan saja, kita yang kerja di lapangan, tetapi mereka yang memetik hasil lebih. Ini jelas tidak adil menurut saya. Sungguh tidak adil."

Darman mengaku keluhan yang sama juga disampaikan rekan-rekan pengemudi ojol. Sebagian mereka memilih banting stir ke pekerjaan baru. Sementara, sebagian lain memilih bertahan dengan harapan yang tak pasti. 

Darman sendiri memilih bertahan sambil berharap ada perhatian dari pemerintah. Hal pertama yang diharapkan adalah pemerintah dapat berkomunikasi dengan aplikator untuk menurunkan presentasi komisi. 

"Ya, harapannya gak muluk-muluk. Kita minta agar pemerintah bisa ngomong ke aplikator biar turunin tarif yang gede ini. Kalau pemerintah juga abai, maka gak tahu-lah saya," pungkasnya pesimis. 

Akar Masalah

Keluhan Darman dirasakan sejumlah pengemudi ojol lain. Dalam aksi demonstrasi yang berlangsung pada Selasa (20/5/2025) lalu, para pengemudi menyuarakan tuntutan agar potongan komisi diturunkan menjadi 10 persen. 

Mereka menilai pihak aplikator telah melakukan pelanggaran terhadap Permenhub Nomor PM 12 Tahun 2019 yang mengatur tentang perlindungan keselamatan pengguna sepeda motor untuk kepentingan masyarakat. 

Demo-Pengemudi-Ojol

Demonstrasi para pengemudi ojol menuntut penurunan komisi 20 persen pada Selasa (20/5/2025) di kawasan Patung Kuda, Gambir, Jakarta Pusat (Foto: Dokumentasi OLX)

Selain itu, aplikator juga dinilai melanggar Kepmenhub Nomor KP 1001 Tahun 2022 yang merupakan revisi dari Kepmenhub Nomor KP 667 Tahun 2022 mengenai pedoman perhitungan tarif jasa penggunaan sepeda motor berbasis aplikasi.

Ketua Serikat Pekerja Angkutan Umum Indonesia (SPAI), Lily Pujiati, menyatakan bahwa permintaan ini muncul akibat adanya pelanggaran oleh aplikator yang mengenakan potongan lebih dari 20 persen. Ia bahkan menyebut adanya kasus pemotongan hingga 70 persen.

“Pengemudi mendapat Rp 5.200, padahal pelanggan membayar Rp 18.000 untuk pengantaran makanan. Ini melanggar aturan pemerintah maksimal 20 persen,” ungkap Lily dalam keterangan pada Rabu (21/5/2025).

Senada, Ketua Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (AKSES), Suroto menyoroti adanya praktik monopoli dalam penetapan tarif dan potongan oleh perusahaan penyedia layanan sebagai sumber utama persoalan. 

Para pengemudi yang berstatus sebagai mitra kerap mengeluhkan potongan yang dikenakan aplikator, yang bahkan melebihi ambang batas maksimal 20 persen sebagaimana telah ditetapkan pemerintah. 

“Sementara, pengemudi tidak pernah dilibatkan dalam penentuan tarif,” ujar Suroto dalam keterangan tertulis yang diterima PARBOABOA pada Rabu (21/5/2025).

Menurutnya, sistem yang saat ini berjalan hanya berpihak kepada perusahaan aplikasi. Ketidakterlibatan para pengemudi dalam pengambilan keputusan serta minimnya transparansi, membuat perusahaan sepenuhnya mengontrol nasib para mitra pengemudi. 

Suroto menilai bahwa pola monopoli seperti inilah yang menyebabkan masalah terus berulang, meskipun para driver telah berkali-kali melakukan aksi protes dan demonstrasi.

Lebih lanjut, Suroto mengungkapkan bahwa besarnya potongan dari pihak aplikator serta tidak adanya pengakuan formal terhadap driver sebagai pekerja telah menambah beban mereka. 

Para pengemudi, menurutnya, tidak hanya menanggung kebutuhan sehari-hari tetapi juga harus menanggung biaya operasional kendaraan. Situasi makin pelik karena tidak ada pembatasan jumlah mitra baru, yang menambah tingkat persaingan di lapangan.

“Kemiskinan struktural dan sulitnya mendapat pekerjaan lain membuat para pengemudi ojol akhirnya tetap terjebak dalam dilema tak berkesudahan,” ujarnya.

Surato menyarankan agar pemerintah menyusun regulasi yang memungkinkan pembagian kepemilikan saham perusahaan aplikasi kepada mitra pengemudi, pekerja lainnya termasuk di divisi logistik, serta konsumen. 

“Rapat umum perusahaan akan menjadi tempat paling menentukan seluruh kebijakan yang adil, di mana tarif ditentukan bersama, keuntungan dibagi bersama dan beban ditanggung bersama” ucap Suroto.

Penjelasan Aplikator dan Sikap Pemerintah

Menanggapi berbagai tudingan yang meluas, sejumlah perusahaan aplikasi memberikan klarifikasi. 

Presiden Gojek Indonesia, Catherine Hindra Sutjahyo, menegaskan bahwa perusahaan tetap menerapkan formula 80:20, di mana 80 persen pendapatan diberikan kepada pengemudi dan 20 persen sisanya menjadi potongan untuk aplikator. 

Gedung-GRAB-Indonesia

Gedung perusahaan GRAB Indonesia yang terletak di Jl. Gunung Sahari No. 18, Jakarta (Foto: Website GRAB)

“Potongan komisi itu sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan, yang 15+5,” jelasnya dalam pertemuan dengan Menteri Perhubungan di Jakarta Pusat, Senin (19/5/2025).

Pernyataan senada datang dari Chief of Public Affairs Grab Indonesia, Tirza R Munusamy. Ia menyebut bahwa Grab selalu mematuhi regulasi dan tidak pernah melebihi batas potongan 20 persen. 

Komisi tersebut, menurutnya, dialokasikan untuk pengembangan teknologi, pembiayaan asuransi bagi mitra maupun penumpang, serta program bantuan operasional bagi pengemudi.

Government Relations Specialist dari Maxim Indonesia, Muhammad Rafi Assagaf, turut memberikan pandangan. Ia tidak sepakat dengan permintaan asosiasi pengemudi agar potongan diturunkan menjadi 10 persen. 

“Ini cukup berdampak besar bagi ekosistem transportasi online karena sulit untuk inovasi,” ujarnya.

Pemerintah pun tak tinggal diam. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menegaskan pihaknya tengah memprioritaskan perlindungan sosial bagi para pekerja sektor digital tersebut.

Dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta pada Selasa (20/5/2025), Yassierli menyampaikan perhatian utama untuk memastikan para pengemudi ojol memperoleh hak perlindungan ketenagakerjaan, khususnya jaminan sosial ketenagakerjaan dan jaminan kecelakaan kerja. 

Ia menegaskan bahwa Kementerian Ketenagakerjaan telah mendengar langsung aspirasi para pengemudi tersebut dan menaruh perhatian serius terhadap kondisi kerja mereka. 

Menurutnya, sesuai amanat konstitusi, setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, dan hal itu menjadi bagian penting dari perhatian kementeriannya.

Mengenai tuntutan pengemudi yang meminta pengurangan potongan biaya oleh aplikasi, Yassierli menjelaskan bahwa persoalan tarif atau besaran komisi sebenarnya berada di luar kewenangan Kemnaker. 

Ia menilai bahwa masalah tarif ini tidak sesederhana hanya menyoal angka potongan tertentu, dan perlu ditelaah lebih lanjut dari berbagai aspek.

Meski demikian, Yassierli menegaskan bahwa pemerintah membuka ruang diskusi secara luas untuk membahas lebih dalam dinamika kerja di sektor transportasi berbasis aplikasi. 

Ia juga mengungkapkan bahwa status para pengemudi sebagai “mitra” atau “pekerja” masih menjadi perdebatan dan membutuhkan kajian yang cermat serta mendalam. Diskusi mengenai hal tersebut, menurutnya, akan terus berkembang secara dinamis seiring waktu.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS