PARBOABOA, Jakarta – Mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo saat ini tengah menjalani sidang etik terkait kasus dugaan pembunuhan terhadap Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Sidang etik yang dipimpin Kabaintelkam Polri Komjen Ahmad Dofiri itu digelar secara tertutup di TNCC Polri, Jakarta, Kamis (25/8) pukul 09.25 WIB. Hingga pukul 15.50 WIB, sidang etik diketahui masih berlangsung.
Jika dilihat dalam aturan etik yang berlaku, terdapat sejumlah pasal yang bisa menjerat Ferdy Sambo dalam kasus ini.
Seperti yang kita ketahui, Ferdy Sambo telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua. Dia dijerat sebagai tersangka bersama empat orang lain, yakni Bharada Richard Eliezer atau Bharada E, Bripka Ricky, Putri Candrawathi, dan Kuat Ma'ruf.
Ferdy Sambo dkk dijerat Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana subsider Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan juncto Pasal 55 juncto 56 KUHP. Mereka terancam hukuman mati.
Secara singkat, Ferdy Sambo diduga sebagai pelaku utama yang memerintahkan Eliezer untuk menembak Yosua di rumah dinasnya pada Jumat (8/7). Ferdy Sambo juga diduga ikut menembak Brigadir Yosua sebanyak dua kali.
Selain itu, Ferdy Sambo diduga membuat skenario tembak menembak antara Brigadir Yosua dengan Bharada Eliezer yang diawali dugaan pelecehan terhadap istrinya. Ferdy Sambo diduga memerintahkan bawahannya untuk mengambil hingga merusak CCTV.
Berdasarkan uraian singkat peranan Ferdy Sambo yang telah disampaikan Polri hingga Komnas HAM selama ini, terdapat beberapa pasal dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia (KEPP) yang bisa menjerat Ferdy Sambo.
Berikut ini pasal-pasal etik yang bisa menjerat Ferdy Sambo:
Pasal 10
(1) Setiap Pejabat Polri dalam Etika Kelembagaan, dilarang:
a. melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan/atau standar operasional prosedur, meliputi:
1. penegakan hukum;
2. pengadaan barang dan jasa;
3. penerimaan anggota Polri dan seleksi pendidikan pengembangan;
4. penerbitan dokumen dan/atau produk Kepolisian terkait pelayanan masyarakat; dan
5. penyalahgunaan barang milik negara atau barang yang dikuasai secara tidak sah;
b. menyampaikan dan menyebarluaskan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya tentang Polri dan/atau pribadi pegawai negeri pada Polri;
c. menghindar dan/atau menolak Perintah Kedinasan dalam rangka Pemeriksaan internal yang dilakukan oleh fungsi pengawasan terkait dengan Laporan atau Pengaduan masyarakat;
d. menyalahgunakan kewenangan dalam melaksanakan tugas kedinasan;
e. melaksanakan tugas tanpa Perintah Kedinasan dari pejabat yang berwenang, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
f. melakukan permufakatan Pelanggaran KEPP atau disiplin atau tindak pidana.
(2) Larangan dalam penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1, dapat berupa:
c. merekayasa dan memanipulasi perkara yang menjadi tanggung jawabnya dalam rangka penegakan hukum;
h. mengurangi, menambahkan, merusak, menghilangkan, dan/atau merekayasa barang bukti;
i. menghambat dan menunda waktu penyerahan barang bukti yang disita kepada pihak yang berhak/berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Pasal 11
(1) Setiap Pejabat Polri yang berkedudukan sebagai Atasan dilarang:
a. memberi perintah yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan;
b. menggunakan kewenangannya secara tidak bertanggung jawab; dan
c. menghalangi dan/atau menghambat proses penegakan hukum terhadap bawahannya yang dilaksanakan oleh fungsi penegakan hukum.
Pasal 13
Setiap Pejabat Polri dalam Etika Kepribadian, dilarang:
m. melakukan tindakan kekerasan, berperilaku kasar, dan tidak patut.