PARBOABOA, Jakarta - Kasus kekerasan beragama kembali dialami kelompok minoritas.
Kali ini aksi intoleransi berupa pembubaran peribadatan yang menimpa Mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (UNPAM) yang melaksanakan ibadah Rosario pada Minggu, (5/05/2024) malam.
Adapun video dan narasi-narasi terkait peristiwa tersebut viral di berbagai platform, baik media sosial maupun media arus utama.
Melalui Instagram @infotangerangkota, dua wanita menyatakan bahwa teman mereka sedang mengadakan ibadah doa Rosario.
Ibadah tersebut kemudian menjadi buyar, ketika seorang yang disebut Pak RT mendatangi TKP dan meminta mereka untuk memindahkan kegiatan tersebut ke Gereja.
Dalam slide berikutnya, pemilik akun memposting video pernyataan dari beberapa orang yang mengadu kepada pihak berwajib mengenai serangan yang mereka alami, yang diduga dipicu oleh provokasi Pak RT di area Unpam.
Kejadian ini bermula saat sekelompok mahasiswa sedang berdoa bersama, namun tiba-tiba diserang yang berujung pada pemukulan dan pembacokan. Adapun korban dalam insiden ini adalah Aurelia Ceril Cica dan Remasya Al-Islami.
Menanggapi laporan tersebut, pihak Polres Metro Tangerang Selatan langsung mengambil langkah penyelidikan atas kasus dugaan kekerasan tersebut.
Alhasil, kurang dari waktu 24 jam, Polres Tangerang Selatan (Tangsel) berhasil menetapkan empat tersangka dari kasus tersebut
Kepada media, Kapolres Tangsel, AKBP Ibnu menerangkan bahwa satu dari empat tersangka berinisial D (53) merupakan Ketua Rukun Tetangga (RT) wilayah tersebut.
"Ada empat tersangka yang sebelumnya berstatus saksi, inisial D (53), I ( 30), S (36) dan A (26)," kata Ibnu Selasa,(7/05/ 2024).
Lebih lanjut, Ibnu menerangkan, D sebagai Ketua RT berteriak saat menggeruduk sekelompok mahasiswa Universitas Pamulang (Unpam). Teriakannya justru memancing keributan.
"Teriakan dari yang berInisial D memancing keributan, serta adanya kegaduhan hingga terjadi kekerasan. Tiga lainnya melakukan tindak kekerasan," ujarnya.
Untuk barang bukti, polisi menyita rekaman video, tiga senjata tajam (sajam) berjenis pisau, kaus berwarna merah dan hitam.
Dalam kasus ini, tersangka dijerat dengan Pasal 170 KUHPidana dan/atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Darurat serta Pasal 351 KUHPidana dan/atau Pasal 355 KUHPidana.
Para tersangka, jelasnya, diancam maksimal sepuluh tahun kurungan penjara.
Merawat Iklim Toleransi
SETARA Institute melalui rilis yang diterima PARBOABOA Selasa (7/05/2024) menyampaikan beberapa catatan terkait peristiwa tersebut.
Pertama, SETARA Institute menganggap peristiwa yang terjadi sebagai pelanggaran terhadap Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) serta menunjukkan kelemahan dalam ekosistem toleransi di Indonesia yang beragam.
Terbukti, situasi pelanggaran KBB tetap tidak berubah, dengan gangguan terhadap tempat ibadah dan peribadatan yang masih berlanjut.
Data dari SETARA Institute mencatat ada 573 insiden gangguan terhadap tempat ibadah dari tahun 2007 hingga 2022 di Indonesia.
Kedua, kejadian pembubaran ibadah Rosario oleh Mahasiswa Katolik UNPAM menyoroti bahwa intoleransi dan kebencian masih mengancam hak KBB yang seharusnya dilindungi secara konstitusional oleh pemerintah dan negara.
Faktor-faktor seperti intoleransi komunal dan kegagalan unsur negara, dalam hal ini RT/RW, untuk melindungi hak KBB menjadi penyebab utama kejadian ini.
Ketiga, usaha polisi dalam menengahi konflik patut diapresiasi. Namun, mereka harus memastikan investigasi yang mendalam terhadap dugaan pelanggaran pidana yang terjadi.
Penegakan hukum terhadap kasus persekusi ini penting untuk menghindari lebih banyak pelanggaran KBB dan penindasan terhadap kelompok minoritas, yang sering menjadi korban karena lemahnya penegakan hukum.
Keempat, SETARA Institute meminta semua pihak untuk menahan diri dari menyebar narasi yang bisa meningkatkan tensi dan kebencian.
Mereka juga mendesak penolakan terhadap upaya politisasi kasus ini, terutama menjelang Pilkada November 2024.
Selain itu, SETARA Institute juga mendesak pemerintah untuk mengambil langkah-langkah lanjutan seperti penanganan korban dan penegakan hukum terhadap tindak kekerasan yang telah terjadi.
Kelima, mengingat banyaknya kasus pembubaran dan persekusi atas KBB, ada kebutuhan mendesak untuk membangun ekosistem toleransi yang kuat di tingkat komunitas. Ini memerlukan inisiatif dari pemimpin politik, birokrasi, dan pemimpin sosial.
Selain itu, partisipasi dari entitas resmi seperti Forum Kerukunan Umat Beragama, Forum Pembauran Kebangsaan, dan Majelis-Majelis Keagamaan, serta komunitas sosial di bidang kebudayaan dan kesenian, sangat penting dalam upaya memajukan toleransi.
Editor: Norben Syukur