PARBOABOA, Jakarta - Persidangan kasus dugaan korupsi impor gula yang menjerat Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong mengungkap fakta mengejutkan.
Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Selasa (7/5), terungkap bahwa izin impor gula diberikan kepada Induk Koperasi Angkatan Darat (Inkopad) berdasarkan perintah Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pada tahun 2015.
Letkol CHK Sipayung, Kepala Bagian Hukum dan Pengamanan Inkopad, yang dihadirkan sebagai saksi, menjelaskan bahwa izin tersebut berlandaskan nota kesepahaman (MoU) antara KSAD Jenderal Moeldoko dan Menteri Perdagangan saat itu, Gita Wirjawan, yang ditandatangani pada tahun 2013.
"MoU-nya antara Pak Gita Wirjawan dan Pak Moeldoko pada 2013," ujar Sipayung di hadapan majelis hakim.
Inkopad kemudian memperoleh kuota impor sebesar 100.000 ton gula kristal mentah (GKM). Namun, Sipayung mengakui bahwa koperasi tersebut sebenarnya tidak memenuhi persyaratan teknis sebagai importir, karena tidak memiliki pabrik pengolahan maupun dana yang cukup.
Lantas untuk mengatasi hal itu, Inkopad bekerja sama dengan PT Angels Products, perusahaan yang diketahui dimiliki oleh pengusaha Tomy Winata.
Menurut kesaksian Sipayung, seluruh biaya impor ditanggung oleh PT Angels Products. Sementara itu, distribusi gula dilakukan melalui jaringan distributor swasta yang telah menjalin kontrak dengan koperasi. Distribusi dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung dari distributor ke PT Angels, lalu pengambilan barang dilakukan di pabrik milik perusahaan tersebut.
“Nanti (distributor) bayarnya ke Angels, setelah itu ambil gulanya di pabrik Angels, kemudian baru kita distribusikan,” kata Sipayung.
Dalam persidangan, Tom Lembong sempat menanyakan secara langsung kepemilikan PT Angels Products. Sipayung membenarkan bahwa perusahaan tersebut memang milik Tomy Winata dan telah memiliki hubungan bisnis lama dengan TNI AD, termasuk dalam pengelolaan Hotel Kartika Discovery yang merupakan aset koperasi.
“Kalau Angels itu yang saya tangkap punya Tomy Winata, Pak. Kita juga punya hubungan bisnis lain, seperti pengelolaan Hotel Kartika Discovery milik Inkopkar, yang dijalankan oleh anak perusahaan Tomy Winata,” ujarnya.
Salah seorang dari Majelis Hakim, yaitu Hakim Alfis Setiawan mengungkapkan keheranannya terhadap peran Induk Koperasi Angkatan Darat (Inkopad) dalam kegiatan impor dan distribusi gula.
Menurutnya, Inkopad seharusnya tidak memiliki kapasitas untuk melakukan impor maupun operasi pasar. Pertanyaan muncul ketika diketahui bahwa Inkopad mendistribusikan gula melalui distributor swasta, padahal koperasi tersebut memiliki jaringan cabang yang luas di seluruh Indonesia.
Menjawab itu, Sipayung, menjelaskan bahwa koperasi tidak mampu mendistribusikan gula secara langsung karena keterbatasan dana dan infrastruktur. Ia menambahkan, keputusan untuk mendistribusikan melalui pihak ketiga diambil karena Inkopad tidak memiliki anggaran yang cukup untuk melaksanakan operasi pasar secara mandiri.
Namun, Hakim Alfis mempertanyakan logika di balik permohonan penugasan kepada Kementerian Perdagangan jika sejak awal sudah diketahui bahwa dana tidak mencukupi.
Sipayung mengungkapkan bahwa keputusan tersebut diambil atas perintah Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dan sebagai prajurit, ia hanya menjalankan perintah atasan.
Diketahui, dari kegiatan operasi pasar tersebut, Inkopad memperoleh keuntungan sebesar Rp 7,5 miliar, dengan margin keuntungan Rp 75 per kilogram dari total 100.000 ton gula yang didistribusikan.
Induk Koperasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Inkoppol) juga terlibat dalam kegiatan serupa.
Pada April 2016, Inkoppol mengajukan permohonan kuota impor sebesar 300.000 ton gula kristal mentah dan izin untuk melakukan operasi pasar.
Tom Lembong saat itu menyetujui sebagian permohonan tersebut dengan memberikan izin impor sebesar 200.000 ton.
Keputusan ini dipertanyakan hakim karena tidak melibatkan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian dan tidak menunjuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sebaliknya, izin impor diberikan kepada koperasi dan perusahaan swasta yang memiliki keterkaitan dengan koperasi TNI-Polri.
Itulah sebabnya, jaksa menilai bahwa tindakan Tom Lembong dalam menerbitkan izin impor gula tanpa koordinasi dengan instansi terkait dan tanpa rekomendasi Kementerian Perindustrian telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Akibatnya, negara mengalami kerugian sebesar Rp 515 miliar karena kemahalan harga yang dibayarkan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) dalam pengadaan gula kristal putih untuk operasi pasar.
Kasus dugaan korupsi impor gula yang menyeret Tom Lembong, bermula pada Mei 2015. Saat itu, rapat koordinasi antarkementerian menyimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus gula, sehingga tidak diperlukan impor tambahan.
Namun, Tom Lembong memberikan izin impor gula kristal mentah (GKM) sebanyak 105.000 ton kepada PT AP tanpa melalui koordinasi dengan instansi terkait dan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 527 Tahun 2004, impor gula kristal putih seharusnya hanya dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun, dalam kasus ini, izin impor diberikan kepada perusahaan swasta, yang kemudian mengolah GKM menjadi gula kristal putih (GKP).
Pada akhir 2015, diprediksi bahwa Indonesia akan mengalami kekurangan gula kristal putih sebesar 200.000 ton pada tahun berikutnya. Untuk mengatasi hal ini, Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), Charles Sitorus, menginstruksikan bawahannya untuk bekerja sama dengan delapan perusahaan swasta dalam mengimpor dan mengolah GKM menjadi GKP.
Gula yang dihasilkan kemudian dijual ke masyarakat melalui distributor dengan harga Rp16.000 per kilogram, melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) saat itu sebesar Rp13.000 per kilogram. PT PPI menerima fee sebesar Rp105 per kilogram dari delapan perusahaan tersebut.
Akibat dari praktik ini, negara mengalami kerugian yang diperkirakan mencapai ratusan miliar. Tom Lembong dan Charles Sitorus kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung pada Oktober 2024.
Tom Lembong mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada November 2024, menantang keabsahan penetapan tersangka dan penahanannya. Namun, permohonan tersebut ditolak oleh hakim pada akhir November 2024, sehingga status tersangkanya tetap berlaku.
Pada Januari 2025, Kejaksaan Agung menetapkan sembilan tersangka baru dari pihak swasta yang diduga terlibat dalam skema impor gula ilegal ini.
Kasus ini menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan terkait impor komoditas strategis, serta perlunya koordinasi antarinstansi pemerintah untuk mencegah penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan negara.