TPPO di NTT dan Perjalanan Panjang Meriance Kabu Mencari Keadilan

Mariace Kabu saat mengahdiri sidang pembacaan putusan di Malaysia. (Foto: Dokumen Kemenlu)

PARBOABOA, Jakarta - Suatu hari di tahun 2014 silam merupakan hari yang kelam bagi Mariance Kabu.

WNI asal Kupang, NTT yang bekerja di Malaysia itu mendapat penyiksaan berat dari majikannya, Ong Su Ping Serene.

Semua berawal ketika pada suatu malam, Mariance  membuat kesalahan sepele. Saat itu, dirinya berencana memasak ikan, tetapi ia tak menemukan ikan tersebut di lemari es.  

Ternyata, tanpa sengaja, Mariance menaruhnya di freezer. Ketika hal itu diketahui, dia dihantam dengan ikan beku hingga kepalanya berdarah. 

Insiden itu kemudian memicu kekerasan di hari-hari berikutnya. Sedikit saja kesalahan, Mariance langsung dipukul.

Beberapa kekerasan fisik yang dilakukan oleh Ong Su membuat wajah Mariance lebam, bibir sobek dan telinga rusak.

Mariance tidak hanya mengalami pemukulan, tetapi juga penyiksaan brutal dengan besi panas, pinset, palu, tongkat dan tang. 

Bekas luka di bibir, hilangnya empat gigi dan telinga yang cacat sampai saat ini menjadi bukti bisu dari kekejaman yang ia alami.

Delapan bulan lamanya Mariance terjebak dalam penderitaan tanpa bisa keluar rumah. Hingga akhirnya, pesan darurat yang ia tulis ditemukan tetangga dan dilaporkan ke polisi. 

Ia pun diselamatkan dan segera dibawa ke Rumah Sakit Ampang, Selangor untuk perawatan, lalu dipulangkan ke Indonesia.

Setelah keluar dari penyiksaan yang membabi buta, Mariance harus melewati proses pemulihan yang berat, baik secara fisik maupun emosional. 

Namun, meskipun menghadapi banyak kesulitan, ia tetap gigih memperjuangkan keadilan demi keempat anaknya di Kota Karang.

Sepuluh tahun lamanya Mariance menunggu keadilan, terhitung semenjak sang majikan di bawah ke meja hijau atas tuduhan dan dakwaan TPPO, penganiayaan, percobaan pembunuhan dan pelanggaran aturan keimigrasian.

Hingga akhirnya, pada 30 Juni 2024, Kementerian Luar Negeri dan KBRI Kuala Lumpur mengupayakan kehadiran perempuan 43 tahun itu dalam sidang pembacaan putusan awal di Mahkamah Sesyen Ampang, Selangor, Malaysia.

Dalam putusan tersebut, majikan Mariance dinyatakan bersalah atas dakwaan TPPO dan pelanggaran keimigrasian. 

Namun, dakwaan atas penganiayaan dan percobaan pembunuhan dibatalkan oleh hakim, dengan alasan kurangnya alat bukti untuk mendukung tuduhan tersebut.

Melansir laman resmi Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Pemerintah Indonesia menilai keputusan atas kasus TPPO dan pelanggaran keimigrasian sebagai pencapaian penting dalam upaya melindungi WNI, sekaligus menjadi tolok ukur penegakan hukum bagi Pekerja Migran Indonesia di Malaysia.

Namun, pembatalan dakwaan penganiayaan dan percobaan pembunuhan dipandang sebagai kemunduran dalam memperjuangkan keadilan bagi Mariance, mengingat bukti cedera permanen yang ia alami.

Sebenarnya, semenjak kasus Mariance mencuat, para aktivis Malaysia telah mewanti-wanti hukum di Negeri Jiran yang tidak 'ramah' terhadap WNI.

Mereka mengatakan, hukum di negara itu kerap memandang pekerja rumah tangga yang sebagian besar WNI sebagai warga kelas dua, sehingga tidak layak mendapat tingkat perlindungan yang sama dengan warga asli.

Namun, untuk mendapat keadilan, Pemerintah Indonesia tetap mendorong Jaksa Penuntut Malaysia untuk meninjau kembali bukti-bukti yang ada dan mempertimbangkan upaya banding. 

Watching brief lawyer yang ditunjuk oleh KBRI Kuala Lumpur akan terus mendalami kemungkinan upaya hukum lanjutan agar keadilan bagi Mariance dapat ditegakkan.

Mereka juga akan terus memantau perkembangan sidang selanjutnya yang berfokus pada pembelaan terdakwa.

Jejak TPPO di NTT

Mariance Kabu adalah korban TPPO yang kian marak di NTT. Aparat penegak hukum setempat bahkan menyebut, TPPO di Provinsi Kepulauan itu dikendalikan oleh sindikat mafia 'berlapis.'

Dalam merekrut Mariance, sindikat TPPO tidak hanya menawarkan gaji besar dan proses dokumen yang mudah, cepat, serta gratis, tetapi juga memanfaatkan 'wajah agama' untuk menipu masyarakat.

Mariance mengakuinya. Ia mengatakan bahwa dirinya direkrut oleh kelompok doa dari salah satu desa terpencil di NTT. 

Karena bujukan tersebut, ia akhirnya bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) nonprosedural di Malaysia pada 2014.

"Orang NTT tega menipu dan bawa-bawa nama Tuhan," kata Mariance sembari mengingat penyiksaan kejam yang ia alami di Malaysia.

Kesaksian Mariance dikuatkan oleh rayuan seorang perekrut yang tertera dalam salinan putusan pengadilan. Di sana, terduga perekrut yang kini masih buron berkata, "kamu jangan takut, sebelum kesana kami sudah berdoa."

Selain itu, sang perekrut menjanjikan Mariance akan mendapatkan bos yang baik di Malaysia. "Jangan bawa apa-apa, semua bos yang urus dan bos yang tanggung," pungkas orang itu.

Hingga kini, jumlah korban sindikat mafia berkedok agama ini masih belum dapat dipastikan. 

Namun, pegiat kemanusiaan di NTT menyatakan bahwa pelaku TPPO yang dipenjara umumnya hanya perekrut lapangan di tingkat desa, yang sering disebut sebagai 'ikan teri.' 

Sementara itu, anggota sindikat yang lebih besar, atau 'ikan kakap,' menurut Kepolisian Daerah NTT, masih banyak yang bebas berkeliaran.

Meriance adalah salah satu dari sedikit pekerja migran Indonesia (PMI) nonprosedural asal NTT yang berhasil pulang dengan selamat. 

Sayangnya, dari tahun 2014 hingga 2022, lebih dari 700 PMI asal NTT kembali dalam peti jenazah. Sebagian besar dari mereka adalah pekerja ilegal yang meninggal karena berbagai penyebab.

Selain berkedok agama, TPPO di NTT diduga melibatkan anggota DPR terpilih. Hal itu terjadi di Maumere, Kabupaten Sikka.

Ia adalah Yuvinus Solo, kader Partai Demokrat yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka. Yuvinus disebut sebagai perekrut tenaga kerja ke Kalimantan, namun hingga saat ini belum juga diproses hukum.

Kasi Humas Polres Sikka, AKP Susanto, menyatakan bahwa kasus ini mulai diselidiki setelah polisi menerima laporan dari salah satu korban pada April 2024. 

Setelah melakukan penyelidikan mendalam, polisi menetapkan Yuvinus, yang juga dikenal sebagai Joker sebagai tersangka.

Kasus ini bermula dengan kematian Jodimus Moan Kaka, seorang warga Kecamatan Waigete di Kalimantan. Pada Maret 2024, seorang bernama Filius mendekati Jodimus dan beberapa warga lainnya, menawarkan pekerjaan di Kalimantan Timur. 

Filius menjanjikan bahwa biaya transportasi akan ditanggung terlebih dahulu dan kemudian dipotong dari gaji dan uang makan mereka.

Sebelum berangkat, Filius menginstruksikan para korban untuk berpencar agar tidak terpantau patroli polisi di pelabuhan. 

Setibanya di Kalimantan, Yuvinus membagi para korban menjadi beberapa kelompok. Jodimus, bersama anaknya dan beberapa orang lainnya, diantar ke sebuah lokasi di Kutai Barat, yang berjarak sekitar 14 jam perjalanan dari Balikpapan.

Ketika mereka tiba dan melihat kondisi di lokasi tersebut, Jodimus dan kelompoknya menolak untuk bekerja. 

Mereka memutuskan untuk berjalan keluar dari tempat itu dan mencari kerabat yang sudah bekerja di Kutai Barat. Sayangnya, dalam perjalanan, Jodimus jatuh sakit dan memutuskan untuk kembali ke Maumere bersama anaknya. 

Namun, dalam perjalanan pulang, Jodimus meninggal dunia.

Setelah kejadian tersebut, istri Jodimus melaporkan kasus ini ke polisi. Hingga saat ini, polisi telah memeriksa 18 saksi dan Yuvinus sebagai tersangka.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS