Polemik Proyek Holyland Karanganyar: Antara Izin Resmi dan Penolakan Warga

Polemik Proyek Holyland Karanganyar. (Foto: Dok. Kompas)

PARBOABOA, Jakarta – Rencana pembangunan kawasan wisata rohani Holyland di Desa Karangturi, Kecamatan Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah, berubah menjadi polemik panas setelah menuai gelombang penolakan dari sebagian warga dan ormas.

Meski proyek ini telah mengantongi izin resmi dari Bupati Karanganyar sejak 2024, keresahan masyarakat baru mencuat ketika sejumlah bangunan sudah setengah jadi.

Proyek Holyland sendiri digarap oleh Yayasan Keluarga Anugerah Surakarta di atas lahan seluas 40 hektar, berjarak sekitar 15 kilometer dari pusat Kota Solo.

Kompleks ini direncanakan mencakup tiga bangunan utama: Bukit Doa, Gereja Bethel Indonesia (GBI), dan Sekolah Tinggi Teologi (STT).

Pembangunan berjalan sejak April 2024, namun kini terhenti sebagian setelah Bupati Karanganyar Rober Christanto mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 500.16.7/505/2025 pada 2 September 2025, yang menghentikan sementara proyek Bukit Doa.

Proses Izin Dipertanyakan

Sejumlah fraksi di DPRD Karanganyar, termasuk PKS, Gerindra, dan PDIP, menyuarakan keberatan terkait proyek ini.

Mereka menilai proses perizinan kurang transparan dan tidak melibatkan warga secara menyeluruh.

Penolakan juga datang dari Laskar Umat Islam Karanganyar (LAKIK) yang menuding pengelola tidak meminta izin langsung kepada masyarakat sekitar.

Menurut Humas LAKIK, Abu Hamran, izin proyek hanya diurus melalui sistem Online Single Submission (OSS) tanpa ada permisi atau komunikasi dengan warga terdampak.

Kekhawatiran warga semakin memuncak karena proyek ini disebut-sebut bakal dijadikan pusat kegiatan agama tertentu berskala Asia.

Beberapa tokoh masyarakat bahkan menuding rencana ini dapat mengganggu kerukunan antarumat beragama di Karanganyar.

Penolakan pun meluas, ditandai dengan penggalangan tanda tangan dari jemaah masjid-masjid sekitar lokasi proyek.

Desa Merasa Tak Dilibatkan

Pemerintah Desa Karangturi, tempat proyek ini berdiri, mengaku bingung dengan sikap pemerintah kabupaten.

Sekretaris Desa Karangturi, Muhtar, menegaskan pihaknya sejak awal hanya berperan sebagai fasilitator pertemuan antara yayasan, warga, dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

Pertemuan awal pada Juli 2023 di Mojosongo, Solo, bahkan berlangsung lancar tanpa penolakan. Warga kala itu menerima kompensasi lingkungan sebesar Rp25 juta dari yayasan, dan pembangunan pun berjalan tanpa kendala.

“Kami tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan SK Bupati. Selama proyek berjalan, tidak ada keluhan terkait gangguan lingkungan. Justru warga ikut menjaga alat dan keamanan proyek. Jadi penolakan ini jelas karena persoalan rumah ibadah, bukan masalah lingkungan,” ujar Muhtar, Selasa (23/9/2025).

Protes Warga

Humas Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS), Endro Sudarsono, menyebut 98 warga terkejut mendapati pembangunan rumah ibadah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan.

Ia menyoroti bahwa sesuai SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006, pendirian rumah ibadah harus memenuhi kebutuhan jemaat setempat, bukan dominan dari luar daerah.

“Kalau jemaat minim dan bukan berasal dari lingkungan sekitar, mestinya pembangunan tidak dipaksakan. Aturannya jelas untuk menjaga kerukunan,” tegas Endro, Rabu (24/9/2025).

Ia juga menambahkan, masyarakat kini menunggu penjelasan langsung dari Bupati agar keresahan bisa mereda.

Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Karanganyar menyatakan penghentian sementara proyek Holyland adalah bentuk respons terhadap keresahan warga.

Dengan keluarnya SK pada 2 September 2025, Pemkab menekankan pembangunan harus ditunda hingga tercapai kesepakatan baru dengan masyarakat.

Namun polemik masih terus berlanjut. Pihak yayasan disebut berupaya melanjutkan pembangunan STT dan gereja, sementara sebagian warga tetap bersikeras menolak.

Situasi ini membuat Desa Karangturi kian tidak kondusif. “Kami di desa hanya ingin tenteram, karena proyek ini sejatinya sudah berizin. Tapi masyarakat masih menuntut kami terus,” keluh Muhtar.

Ke depan, penyelesaian masalah ini akan bergantung pada dialog terbuka antara pemerintah daerah, yayasan, dan warga.

Tanpa itu, konflik berpotensi terus membesar dan mengganggu harmoni sosial di Karanganyar.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS