Kontroversi Putusan MK, Pengamat: Turunkan Tingkat Kepercayaan Publik

MK memutuskan seseorang di bawah 40 tahun boleh mendaftar capres/cawapres namun harus berpengalaman pernah menjabat kepala daerah. (Foto: PARBOABOA/Muazzam)

PARBOABOA, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menjadi sorotan publik tanah air saat ini, menyusul keputusannya mengenai uji materi Pasal 169 huruf (q) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. 

Berdasarkan putusan MK ini, seseorang yang berusia di bawah 40 tahun boleh mendaftar sebagai presiden atau wakil presiden namun harus berpengalaman pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu. 

Sebelumnya, permohonan peninjauan kembali (PK) ini diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A. 

Dia merupakan putra dari Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman.

Almas juga memilih Arif Sahudi, Utomo Kurniawan, dkk sebagai kuasa hukum.

Permohonan ini diterima MK pada 3 Agustus 2023 dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023. 

Dalam pengajuannya, pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. 

Namun putusan MK itu disampaikan pada Senin (16/10/2023) itu hanya mengabulkan dari sebagian tuntutan. 

Di mata pengamat politik, Fernando Emas, putusan MK ini sudah bisa ditebak oleh banyak kalangan sebelumnya. 

Menurutnya, putusan MK tersebut justru menciptakan polemik dan persoalan baru dalam perjalanan Bangsa Indonesia dengan langkahnya mengambil alih wewenang pembuat Undang-Undang yaitu DPR dan Pemerintah. 

"Hakim MK sudah menjerumuskan lembaga pengawal konstitusi tersebut dalam pusaran politik sehingga membuat turun tingkat kepercayaan publik," katanya dalam keterangan tertulis kepada PARBOABOA, Selasa (17/10/2023).  

Bagi Fernando, putusan MK yang diketuai adik ipar Presiden Jokowi, Anwar Usman, jelas merupakan sebuah gelaran karpet merah bagi Gibran Rakabuming Raka untuk bisa mendaftarkan diri sebagai calon wakil presiden. 

Artinya, wajar jika banyak kalangan menilai keberadaan Anwar Usman di MK telah sangat sarat dengan konflik kepentingan bahkan sejak awal.

"Apalagi kalau Gibran menjadi cawapres Prabowo dan sengketa pilkada disidangkan oleh MK, maka Anwar Usman tidak bisa menghindar dari konflik kepentingan karena Gibran merupakan keponakannya," kata Direktur Rumah Politik Indonesia ini.

Menurutnya, seharusnya Anwar Usman mundur dari Ketua MK. Tujuan utamanya, agar lembaga ini tidak makin terpuruk di bawah kepemimpinannya.

Jalan Panjang Jokowi Pertahankan Kekuasaan

Dari pengamatan Fernando, Presiden Jokowi telah melakukan berbagai usaha untuk mempertahankan kekuasaan.

Hal itu dimulai dari adanya upaya memperpanjang masa jabatan presiden menjadi 3 periode, namun gagal. 

Hingga pada upaya terbaru, membukakan peluang bagi anaknya, Gibran menjadi kontestan pilpres 2024.

"Jangan-jangan pernikahan adik Jokowi, Idaya dengan Anwar Usman adalah pernikahan politk yang dilakukan untuk kepentingan politik keluarga Jokowi?" katanya. 

Pengamatan serupa juga datang dari Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi.  

Menurutnya, apapun alasannya, MK telah melampaui batas kewenangannya karena telah mengambil alih peran DPR dan Presiden. 

Padahal, dua institusi itulah yang mempunyai kewenangan legislasi. 

"Dengan putusan menerima dan mengubah bunyi pasal tersebut, artinya MK menjalankan positive legislator," katanya.

Hendardi juga menilai, MK dengan sesuka hati menafsir ketentuan open legal policy sesuai selera penguasa. 

MK yang mengklaim diri sebagai the sole interpreter of the constitution atau satu-satunya lembaga penafsir konstitusi, justru malah menjadi bukti nyata penyimpangan berkonstitusi. 

"Dalam posisi ini, apa yang dibanggakan dari hakim-hakim MK?" ujarnya. 

Jika memang pascaputusan ini, Gibran tetap melangkah ke bursa pilpres, maka bagi Hendardi, MK memang dimanfaatkan untuk mempermudah anak Presiden Jokowi melanjutkan kepemimpinan bapaknya. 

Langkah Gibran maju, juga sekaligus meneguhkan dinasti Jokowi dalam perpolitikan Indonesia. 

Editor: Umaya khusniah
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS