PARBOABOA, Jakarta - Masa jabatan Jokowi-M'aruf sebagai Presiden dan Wakil Presiden akan berakhir pada Oktober 2024 mendatang.
Persis di akhir masa jabatan keduanya, Jokowi meneken peraturan pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
PP ini merupakan perubahan dari PP Nomor 25 Tahun 2020. Dalam PP yang baru, iuran Tapera tidak hanya berlaku untuk ASN melainkan berlaku juga untuk pegawai dan karyawan swasta.
Adapun besaran simpanan adalah 3 persen dari total gaji atau upah - 2,5 persen akan ditanggung oleh pekerja, sementara sisanya ditanggung pemberi kerja.
Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GERBAK) menilai, ketentuan baru di atas sangat memberatkan rakyat/buruh. Karena itu, mereka menyangsikan ini sebagai bentuk warisan buruk Jokowi-Ma'ruf di akhir masa jabatan.
"Lebih tepatnya di masa akhir periode Joko Widodo dan Ma’aruf Amin hari ini, rakyat diberikan kembali kebijakan yang buruk melalui agenda Tapera," kata GERBAK dalam rilis yang diterima Parboaboa, Kamis (6/6/2024).
Kata GERBAK, pemerintah memaksa kaum buruh dan rakyat memberikan uangnya untuk menjadi peserta Tapera dengan dalih “agar rakyat memiliki rumah”.
Memang, demikian tegas mereka, kebutuhan mendasar atas perumahan menjadi agenda penting kaum buruh dan rakyat, namun konsepsi yang dibangun dan ditetapkan oleh negara dan rezim Jokowi bertentangan dengan harapkan oleh kaum buruh dan rakyat Indonesia.
Selain memberatkan rakyat, GERBAK juga mengingatkan potensi korupsi skema penghimpunan dan pengelolaan uang rakyat melalui badan-badan resmi pemerintah.
Beberapa disebutkan oleh GERBAK yang potensi korupsi tinggi, yaitu Taspen, Asabari, Jiwasraya, Dapen BUMN serta BPJS Ketenagakerjaan.
Pada sejumlah lembaga-lembaga ini, para oligarki bahkan telah mengendalikan serta menguasai uang milik rakyat.
"Bukan semata-mata hanya karena ada korupsi, namun agenda penghimpunan atau pengelolaan uang rakyat justru malah dirampas oleh para oligarki," tegas Aliansi GERBAK.
Sementara itu, dari aspek demokratis, PP Nomor 21 Tahun 2024 dinilai partisipatif, inklusif dan transparan karena dalam proses rancangan Peraturan Pemerintahnya (RPP) tidak melibatkan masyarakat dan organisasi masyarakat sipil.
"Seperti Serikat Buruh, Petani, Nelayan, Perempuan, Mahasiswa, Miskin kota, dan elemen rakyat lainnya."
Di dalam agenda TAPERA, khususnya pasal pasal 7 PP 21 tahun 2024, disebutkan beberapa sektor pekerjaan yang wajib menjadi kepesertaan tapera, yakni ASN, Tentara/Polri, Pekerja/Buruh Swasta, dan Pekerja/Buruh Mandiri.
Selain mengatur ketentuan mengenai jenis kepesertaan dan besaran iuran yang wajib dibayarkan, pasal 55 ayat (1) PP tersebut mengatur tentang pengenaan sanksi.
Sanksi tersebut berupa sanksi administrasi dan teguran tertulis.
Namun menurut GERBAK, adanya sanksi ini bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28 h ayat 1 yang berbunyi, "setiap warga negara memiliki hak untuk dapat hidup sejahtera lahir dan batin, mendapatkan lingkungan hidup dan tempat tinggal yang baik dan layak serta memperoleh pelayanan kesehatan."
Memperbesar garis kemiskinan
Iuran Tapera yang harus dibayarkan setiap bulan oleh kaum buruh dan rakyat, kata GERBAK, akan menambah beban baru dan memperbesar garis kemiskinan di Indonesia.
Hal ini berkontradiksi dengan realitas hari ini di mana kaum buruh dan rakyat sulit mendapatkan lapangan kerja, adanya hubungan kerja fleksibel yang mengakibatkan bekerja menjadi tidak pasti (kontrak/outsourcing) dan upah yang murah.
Di samping itu, kebutuhan sembako dan energi harganya semakin melambung tinggi, serta jaminan sosial yang diselenggarakan pemerintah justru tidak maksimal.
Selain itu kaum buruh dan rakyat setiap hari dan setiap bulannya pun memikul beban-beban yang begitu berat seperti, membayar iuran kesehatan (1%) BPJS Ketenagakerjaan (2%), pajak penghasilan PPH 21 sebesar 5-10 % dari PTKP, dan pajak-pajak lainnya dari barang atau jasa yang wajib ditanggung kaum buruh dan rakyat.
Artinya, demikian tegas mereka, penambahan agenda TAPERA justru semakin memperdalam penderitaan yang dirasakan karena paksaan yang dilakukan dan besaran iuran yang wajib dibayarkan.
Selebihnya, agenda TAPERA juga menimbulkan tumpang tindih kebijakan dengan program-program yang telah tersedia, seperti program BPJS Ketenagakerjaan, program Perumahan Pekerja/Buruh serta program-program lainnya yang ada di setiap Pemerintah Provinsi, Kota dan Daerah tentang perumahan rakyat.
Sementara itu, aspek berikutnya adalah proses pengadaan tanah atau pembukaan lahan yang menggusur dan merampas hak-hak masyarakat kecil, akan berpotensi menimbulkan konflik baru di sektor Agraria serta berdampak luas pada lingkungan hidup dan kerusakan ekologis.
Berdasarkan sejumlah ketidakberesan di atas, GERBAK menyampaikan pernyataan sikapnya sebagai berikut:
Pertama, GEBRAK mengecam dan menolak keras kebijakan TAPERA yang otoriter sebagai solusi rakyat yang tidak memiliki rumah.
Kedua, GEBRAK menuntut kepada Presiden Jokowi segera mencabut PP 21 Tahun 2024, serta PP 25 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan tabungan perumahan rakyat.
Ketiga, GEBRAK menuntut agar menghentikan program TAPERA dan membuka ruang dialog seluas-luasnya sehingga penyelenggaraan perumahan untuk rakyat dilakukan secara demokratis, partisipatif, transparan dan inklusif.
Keempat, GEBRAK menuntut kepada Negara dan Pemerintah yang berkuasa saat ini, juga pemerintah berikutnya membangun perumahan rakyat yang murah, layak, modern, terintegrasi dengan moda transportasi yang layak juga modern.
Kelima, GEBRAK menuntut kepada Presiden Jokowi agar segera mencabut Omnibus Law Cipta Kerja beserta seluruh Peraturan turunannya yang menjadi sumber masalah rakyat, sekaligus membuat mereka tidak sejahtera.
Keenam, GEBRAK menyerukan dan mengajak kepada seluruh gerakan rakyat, aliansi gerakan buruh/mahasiswa/petani/dan lainnya di daerah masing-masing agar segera melakukan konsolidasi perlawanan terhadap kebijakan TAPERA yang tidak berorientasi terhadap kesejahteraan rakyat.
Editor: Gregorius Agung