PARBOABOA, Jakarta - Kementerian Kesehatan memantik polemik beberapa bulan belakangan. Pemicunya rencana lembaga tersebut menyebarkan 'nyamuk wolbachia' untuk menekan kasus demam berdarah.
Ada lima daerah yang menjadi titik pilot project penyebaran jentik 'nyamuk wolbachia', yakni Semarang, Bontang, Kupang, Jakarta Barat, dan Bandung. 'Nyamuk wolbachia' sejatinya merupakan inovasi dari tim peneliti Universitas Gadjah Mada.
Berdasarkan hasil uji coba, teknologi ini sukses mengatasi permasalahan penyebaran demam berdarah di Yogyakarta. Metode tersebut bisa menjadi harapan di tengah peningkatan kasus DBD yang masih menjadi momok.
Pada 2021, misalnya, ditemukan 73.518 kasus dengan 705 orang kematian. Kenaikan signifikan terjadi pada 2022 di mana terdapat 131.265 kasus yang menyebabkan 1.183 kematian.
Tapi implementasi 'nyamuk wolbachia' terbentur kabar simpang siur yang kemudian memicu penolakan di beberapa tempat. Ada kabar menyebut 'nyamuk wolbachia' bisa menyebabkan pandemi baru, menyebarkan LGBT, sampai bertujuan menanamkan cip (chip) ke tubuh masyarakat.
Sabtu sore (30/12/2023) pekan lalu, reporter Parboaboa Achmad Rizki Muazam berkesempatan berbincang dengan salah satu peneliti 'nyamuk Wolbachia', dr. Eggi Arguni Sp.A.(K), MSc., Ph.D.
Obrolan mengalir dari awal mula penelitian yang dimulai 12 tahun lalu hingga polemik terkini yang muncul di publik. Simak petikan wawancara lengkapnya di bawah ini.
Bisa dijelaskan mengenai teknologi ‘nyamuk wolbachia’ ini?
Pertama, saya ingin meluruskan dulu untuk istilah. Jadi, sebenarnya teknologi ini kita sebut sebagai teknologi ‘nyamuk ber-wolbachia’. Kalau kita sebut ‘nyamuk wolbachia’ nanti kesannya ada nyamuk baru.
Kita bilangnya adalah teknologi ‘nyamuk ber-wolbachia’ atau lebih tepatnya: teknologi nyamuk aedes aegypti ber-wolbachia.
Lalu Wolbachia itu sendiri apa?
Asal-muasal dari bakteri ini awalnya diambil dari yang kita sebut itu lalat buah. Wolbachia ini sebenarnya secara alamiah ada di lebih dari 60% spesies serangga yang ada di dunia, di muka bumi. Jadi itu ada di dalam tubuh kupu-kupu, belalang, semut, bahkan beberapa jenis nyamuk.
Artinya ini memang bakteri yang alamiah. Bakteri wolbachia punya karakteristik bakteri yang intrasel. Artinya, bakteri ini hanya bisa hidup di dalam sel saja, kalau selnya mati maka dia tidak akan bisa hidup.
Selnya juga karakteristiknya adalah sel serangga. Bakteri ini tidak bisa hidup di sel manusia. Artinya kalau khawatir wolbachia ini bisa menginfeksi kita itu, insya Allah enggak mungkin karena tadi dia tidak bisa hidup di sel manusia.
Bagaimana awal mula cerita penelitian Wolbachia di Indonesia?
Penelitian ini pertama kali dilakukan di Australia. Jadi para ahli itu sudah bisa melihat potensi bakteri wolbachia untuk menekan replikasi atau perbanyakan virus dengue, demam berdarah, dalam tubuh serangga.
Kemudian, mereka mulai melihat apabila potensi ini dimiliki oleh nyamuk aedes aegypti. Karena kita tahu nyamuk aedes aegypti ini merupakan vektor utama penyebaran infeksi dengue, yang biasa disebut demam berdarah.
Sejak kapan peneliti Indonesia terlibat?
Nah, itu memang dimulai di Australia. Kemudian di akhir tahun 2011, itu kami diajak untuk melakukan penelitian bersama. Jadi ini konsorsium penelitian—World Mosquito Program (WMP)—banyak negara sebenarnya. Salah satunya Indonesia.
Nah, yang untuk Indonesia ini dilakukan di UGM (Universitas Gadjah Mada), Yogyakarta.
Berapa jumlah tim peneliti awal?
Tim peneliti awal kami, sih, banyak. Kami diketuai oleh, kan ada tim peneliti utama juga, tim penelitinya diketuai Prof. Adi Utarini, dan kemudian ada saya, ada Dr. Relies Adono Ahmad, ada Dr. Citra.
Tapi secara keseluruhan, bergantung dari fasenya. Secara keseluruhan, di fase 2 dan fase 3 itu mungkin hampir 100 orang tim yang meneliti di tempat kami.
Mengapa idenya memasukkan wolbachia ini ke dalam nyamuk? Artinya, ‘nyamuk melawan nyamuk’
Memang orang awam berpikir teknologi sangat kontroversial. Jadi mereka beranggapan bahwa nyamuk sudah banyak, tapi kenapa dilepas nyamuk juga?
Tetapi nyamuk yang dilepas ini memang nyamuk yang sudah ada bakteri wolbachia-nya itu tadi. Sebenarnya teknologi bakteri-bakteri ini ada dua macam pendekatan.
Para ahli dari dulu itu sudah mengetahui ada dua metode pendekatan. Yang pertama adalah pendekatan untuk menekan populasi nyamuk. Jadi jumlah nyamuk di sekitar kita itu akan ditekan.
Bagaimana cara kerjanya?
Bakteri Wolbachia yang ada di dalam nyamuk Aedes aegypti itu, kalau dia nyamuknya jantan, kemudian dia kawin dengan nyamuk betina yang ada di lingkungan (yang di dalam tubuhnya belum ada bakteria Wolbachia) maka telur-telurnya itu nggak bisa menetas.
Jadi dilepaskan itu hanya nyamuk jantan yang ber-wolbachia dan kemudian nanti kita biarkan kawin. Kemudian telur-telurnya tidak bisa menetas. Makin lama tentu saja populasi nyamuk akan berkurang.
Bagaimana dengan metode kedua?
Pendekatannya yaitu dengan metode yang kita sebut replacement. Tadi metode yang pertama itu kita sebut metode suppression, menekan. Metode yang kedua kita sebut sebagai replacement artinya menggantikan.
Memang tidak bertujuan untuk menekan populasi nyamuk yang ada di sekitar kita. Tapi kita menyebarkan nyamuk ber-wolbachia itu tidak hanya yang jantan saja tapi juga ada yang betina.
Apa dampaknya?
Kita harapkan populasi nyamuk itu enggak berkurang tetapi digantikan dengan nyamuk-nyamuk yang sudah ada wolbachia-nya. Dia kawin kemudian diturunkan ke generasi berikutnya, nanti generasi berikutnya kawin lagi, dan diturunkan ke generasi berikutnya.
(Catatan tambahan dari redaksi: bakteri wolbachia akan memblok virus dengue agar tidak mereplikasi diri di tubuh nyamuk)
Penelitian di Indonesia memilih metode yang mana?
Di Yogyakarta waktu itu penelitiannya mengikuti metode yang kedua, replacement. Sudah bisa kita buktikan bahwa dari mulai yang frekuensinya 0%, kemudian di kota Yogyakarta itu sampai sekitar 98%, untuk nyamuk-nyamuk Aedes aegypti yang sudah ada wolbachia-nya.
Jadi banyak juga sekarang di masyarakat membandingkan dengan teknologi yang diterapkan di Singapura.
Singapura memang juga menerapkan teknologi Aedes aegypti ber-wolbachi, tapi mereka memang menggunakan teknologi yang suppression. Teknologi dengan cara melepaskan yang jantan itu.
Kenapa Singapura memilih metode suppression?
Karena mereka ingin menurunkan populasi nyamuk. Tapi teknologi ini sangat membutuhkan biaya besar, dan kemudian support atau biaya produksi untuk menghasilkan nyamuk hanya jantan saja itu sangat tinggi.
Dalam konteks Indonesia, apa keuntungan metode replacement?
Ini teknologinya tidak semahal yang harus dilakukan di Singapura. Dan punya keuntungan bahwa teknologi ini adalah teknologi yang sustainable (berkelanjutan).
Dengan sekali melakukan pelepasan, tentu saja dalam kurun waktu yang cukup, sehingga kemudian kita bisa mendapatkan populasi nyamuk yang banyak ber-wolbachia. Itu nanti mereka akan diturunkan ke anak-anak atau generasi-generasi berikut.
Sehingga kita sudah tidak perlu lagi melakukan pelepasan. Ini salah satu keunggulan dari teknologi ini. Sustainability-nya yang sangat tinggi.
Hasilnya apakah akan lebih efektif dibanding 3M (Menguras, Menutup, Mengubur) yang selama ini dilakukan masyarakat?
3M itu sudah kita lakukan berpuluh-puluh tahun ya. Tapi, coba kita lihat sekarang kasusnya. Apakah menurun? Tidak. Kasus demam berdarah tidak menurun. Terus meningkat sepanjang tahun.
Kemudian juga fogging (pengasapan). Sekarang nyamuk itu sudah resisten dengan insektisida yang digunakan. Mereka nggak akan mati.
Tujuan kita dengan teknologi yang inovatif ini, tidak ingin menggantikan program-program pemerintah yang selama ini ada. Kita ingin supaya teknologi yang inovatif ini bisa menjadi suatu komplemen pengendalian vektor demam darah.
Artinya bisa menekan biaya untuk cara penanganan konvensional ya…
Hasil penelitian di Kota Yogyakarta itu menunjukkan angka fogging itu berkurang sampai 80%. Karena memang fogging menurun sejak kita melakukan penelitian.
Selama penelitian dan uji coba, itu pendanaannya dari mana?
Kami merasa sangat bersyukur. Kami didanai oleh Tahija Foundation, Yayasan Tahija dari Jakarta. Selama 12 tahun kami didanai oleh Yayasan Tahija.
Ada yang mengaitkan penelitian ini dengan dana dari Bill Gates…
Nggak bener tuh yang hoaks-hoaks itu yang bilang bahwa penelitian ini didanai oleh Bill Gates. Memang awal mulanya penelitian yang di Australia didanai oleh Bill Gates.
Tetapi kami bisa buktikan bahwa yang di Kota Yogyakarta atau yang di UGM ini yang kami lakukan, itu tidak didanai oleh Bill Gates.
Kami didanai oleh orang Indonesia sendiri. Gimana kita tidak bangga, penelitian didanai oleh orang Indonesia sendiri, hasil penelitiannya bagus, dan kemudian dijadikan referensi bagi negara-negara lain.
Apa kendala yang dihadapi selama penelitian?
Untuk melakukan penelitian yang semasif seperti ini di Yogyakarta itu memang banyak kendala.
Jadi mulai kita menginisiasi teknologi ini, laboratorium, kelengkapan untuk kita punya suatu insektarium yang memadai, kemudian laboratorium untuk skrining, untuk skrining demam berdarah, skrining Wolbachia, itu tantangan tersendiri.
Karena memang penelitian ini merupakan satu penelitian inovasi yang baru. Kami memang kesulitan waktu itu untuk punya benchmark. Masuk lagi ke fase berikutnya, tantangannya adalah memang penerimaan, penerimaan masyarakat.
Bagaimana tim mengatasi penolakan saat uji coba?
Nah, jadi kita malah melepaskan (nyamuk) itu kan sesuatu yang kontroversial, dan penerimaan masyarakat itu yang menjadi kunci.
Selama ini masyarakat tahunya menghilangkan nyamuk. Pokoknya apapun caranya kita harus menghilangkan nyamuk, karena nyamuk itu sumber infeksi. Yang tertanam seperti itu.
Yang kami lakukan memang melakukan engagement, ya. Community engagement yang memang harus kuat.
Kalau memang dari masyarakat di tempat-tempat yang memang kami rencanakan untuk pelepasan itu masih menolak, ya udah kita tidak lepas nyamuk.
Berarti komunikasinya panjang…
Kita sosialisasi ulang. Mungkin mereka masih belum paham. Kekhawatiran-kekhawatiran mereka letaknya di mana.
Kami menganggap itu sangat penting untuk cepat direspon. Sehingga yang bisa kita lihat di suksesnya penelitian di Yogyakarta.
Saya pikir memang teknologi ini sebenarnya cukup simpel, komplikasi yang paling sulit kalau menurut saya itu bagaimana kita bisa meng-engage masyarakat.
Saat uji coba penelitian itu seberapa besar penolakan masyarakat?
Yang di Yogya Kami pernah mendapat penolakan waktu di fase 2 ya, dari satu RT kecil ya, satu RT kecil atau RW ya. Itu menolak untuk dilakukan pelepasan di wilayah mereka.
Tapi kemudian akhirnya, kalau mereka menolak, maka kami akan ke tempat lain, selain tempat mereka. Dan penolakan tetap ada, tetapi tidak banyak. Penerimaan itu lebih dari 90% untuk warga masyarakat yang menerima.
Apalagi waktu kita ke kota itu penolakannya tambah sedikit lagi. Tapi memang kita penting untuk melakukan engagement sosialisasi yang cukup baik kepada masyarakat.
Pendekatannya bagaimana?
Kami mengikuti pertemuan mereka. Misalnya ada pertemuan Arisan, pertemuan RT, RW, pertemuan ibu-ibu, pertemuan bapak-bapak, PKK, kayak gitu ada perkumpulan-perkumpulan di warga. Kami minta izin untuk bisa melakukan sosialisasi.
Nah, sosialisasi artinya udah face-to-face ya, jadi langsung gitu ke warga. Bahkan misalnya kalau dari Pak RT atau Pak RW menyampaikan, “Dok warga di sana, misalnya di daerah tertentu itu minta penjelasan langsung,” Itu bahkan kita sampai menyamperin
Bagaimana ketika uji coba di wilayah yang lebih besar?
Begitu kita kemudian ke wilayah yang lebih besar, di wilayah kota Jogja, metode itu sudah tidak sesuai lagi. Nggak mungkin kita melakukan pertemuan warga.
Sehingga metode sosialisasi itu saya pikir sangat melihat karakteristik dari keluasan wilayah pada saat kita di Yogyakarta, metode sosialisasi kita lebih ke media. Misalnya kita bicara di radio, kemudian lewat media koran, kemudian televisi.
Nah, mungkin kita juga, misalnya kalau ada Car Free Day ya, di hari libur, misalnya kita bikin stand di situ, dan kemudian itu ada penjelasan tentang penelitian.
Bagaimana ceritanya teknologi wolbachia ini menjadi program Kemenkes?
Kita selalu mengevaluasi, nih, suatu program pengendalian infeksi berhasil atau tidak, efektif atau tidak. Kita selalu laporkan, tahun ini jumlah kasus demam berdarah sekian, tahun ini sekian, tahun ini sekian, dan kita bisa melihat peningkatan kasusnya.
Hasilnya bisa menurunkan 77% infeksi demam berdarah pada manusia, bahkan mengurangi 86% angka rawat inap di rumah sakit. Ini suatu hasil yang evidence-based, ada bukti ilmiahnya.
Nah dari situ kan Kemenkes juga pasti melakukan evaluasi, bahwa program-program pengendalian tech-off yang selama ini dilakukan ternyata memang belum optimal sehingga harus punya satu metode baru.
Pak Menteri sendiri juga datang waktu itu dan berdiskusi dengan kami, melihat penelitian ini secara langsung. Sepertinya Kemenkes mengevaluasi, dan akhirnya keputusan itu saya pikir juga didasarkan hasil evaluasi yang cukup mendalam.
Banyak penolakan teknologi wolbachia yang akan diterapkan Kemenkes, seperti di Jakarta dan Bandung. Bagaimana tanggapan anda?
Iya. Jadi saya lihat memang mungkin sosialisasi atau engagement yang dilakukan itu mungkin belum optimal. Sehingga mereka tidak paham.
Apalagi juga diperparah dengan kondisi sekarang itu sangat mudah ya kita menyebar hoaks. Yang tidak paham ini termakan hoaks dan kemudian menjadi menolak program.
Jadi saya pikir, penolakan-penolakan itu merupakan hal yang wajar. Merupakan tugas kita bersama, ya. Terutama untuk Kemenkes mungkin untuk kembali lagi ke masyarakat dan melakukan sosialisasi-sosialisasi.
Ada banyak kesimpangsiuran mengenai penyebaran nyamuk ber-wolbachia ini: isu ada cip (chip), bisa memunculkan pandemi baru, virus bermutasi, isu genetik buatan. Bagaimana anda meluruskan informasi tersebut?
Iya, bingung ya, saya juga ya itu gimana nyamuk ditempelin cip itu kalau membaca berita yang di-share, ini dapat ide dari mana? Nyamuk itu ditempelin cip supaya kemudian kita menjadi sakit.
Saya betul-betul kagum dengan pola pikir mereka. Tapi nggak apa-apa, mungkin mereka memang belum paham saja.
Itu kan suatu hal yang nggak mungkin, masa bisa kita memasukkan cip ke satu persatu nyamuk, itu kan sama sekali nggak mungkin.
Sebenarnya mereka (warga) banyak fokusnya itu adalah safety. Mereka khawatir kalau Bakteri Wolbachia ini itu bisa masuk ke dalam tubuh manusia dan kemudian menginfeksi manusia atau kemudian mereka mengganggu hewan lain ya, atau menginfeksi hewan lain, atau mungkin juga mencemari lingkungan, mencemari tanah, mencemari air, seperti itu.
Ada juga yang menuding ini cara menyebarkan LGBT…
Saya cukup bingung itu kenapa bisa ke arah LGBT aduh, sangat kreatif yang menyebarkan isu itu. Jadi sudah ada kajian khusus ya tentang teknologi ini, bahwa tidak akan menimbulkan infeksi.
Yang tadi kalau infeksinya itu pada manusia, nggak mungkin ya, karena sudah saya sampaikan tadi bahwa nggak bisa, wolbachia itu nggak bisa hidup di dalam manusia.
Kemudian juga tadi untuk LGBT juga, ya kalau nggak bisa hidup di dalam manusia, gimana dia bisa mengubah orang menjadi LGBT kan?
Apa yang mau anda sampaikan kepada publik untuk meredakan isu liar dan penolakan yang berkembang di masyarakat?
Teknologi aedes aegypti ber-wolbachia ini merupakan teknologi yang sudah terbukti atau ada bukti ilmiahnya. Dan bukti ilmiahnya ini dihasilkan dari penelitian dengan level uji tertinggi, desain penelitian tertinggi, dengan hasil yang sangat baik.
Sehingga kemudian keberhasilan dari teknologi ini menjadi hal yang sebenarnya bisa juga kita manfaatkan di daerah-daerah lain, di Indonesia, tidak hanya di Yogyakarta saja yang bisa mendapatkan benefit atau keuntungan dari teknologi, inovasi, pengendalian demam berdarah ini.
Dan lagi yang penting adalah penerimaan dari masyarakat. Kalau masyarakat yang masih belum menerima, itu bisa kita rangkul lagi dan kemudian kita dekati. Kemudian kita harapkan mereka menerima.
Kalau mereka tidak menerima juga tidak apa-apa ya, itu merupakan hal yang lumrah, ada pihak-pihak yang tidak menerima. Tetapi ini akan membuat kita tidak bisa mendapatkan hasil pencegahan infeksi demam berdarah yang baik di Indonesia. Kita akan tetap seperti ini terus, karena pengendalian infeksi kita kurang baik.
Apa Anda ada konsern lain?
Ketakutan yang tidak beralasan jangan sampai membuat kita tidak melakukan inovasi-inovasi yang sudah terbukti baik. Ini jangan sampai membuat kita nggak maju-maju.
Orang Indonesia itu nggak maju-maju karena inovasi sedikit yang bagus ditolak. Inovasi sedikit yang bagus ditolak. Seperti itu ya. Jadi, ya mungkin itu harapan saya ya.
Editor: Jenar