PARBOABOA, Jakarta – Wacana penerapan hukuman mati kepada koruptor, oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dinilai hanya jargon semata. ICW menilai Jaksa Agung ST Burhanuddin yang pernah mengusulkan penerapan hukuman mati untuk koruptor hanyalah sebuah jargon politik yang dilancarkan untuk mempertahankan eksistensinya.
Menurut ICW, pada kenyataannya wacana itu tidak terbukti menjadi opsi solutif dan efektif dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menyebut wacana tersebut hanya sebatas jargon politik dikarenakan penegakan hukum yang dilakukan jajaran Kejaksaan Agung belum optimal dan berkualitas. Apalagi penegakan hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung masih memperlihatkan kepada masyarakat keberpihakannya terhadap pelaku korupsi.
"Entah itu presiden atau pun pimpinan lembaga penegak hukum, pengguliran wacana hukuman mati hanya jargon politik. Padahal, kualitas penegakan hukum yang mereka lakukan hasilnya masih buruk. Jadi apa yang diutarakan tidak sinkron dengan realita yang terjadi," ujar Kurnia dalam keterangan tertulis, Jumat (5/11/2021).
Kurnia mengatakan bahwa faktanya hal itu belum terjadi dan masih banyak yang harus diperbaiki. Disebutkan Kurnia, bahwa ICW mempertanyakan apakah hukuman mati adalah jenis pemidanaan yang paling efektif untuk memberikan efek jera kepada koruptor sekaligus menekan angka tindak korupsi di Indonesia. Juga mempertanyakan apakah kualitas penegakan hukum oleh aparat penegak hukum sudah menggambarkan situasi yang ideal untuk memberikan efek jera kepada koruptor.
Kurnia kemudian menyoroti saat Kejaksaan Agung menuntut trdakwa kasus suap Pinangki dengan hukuman yang sangat rendah. Menurutnya, masyarakat dapat mengukur bahwa Jaksa Agung saat ini tidak memiliki komitmen untuk memberantas korupsi.
Kurnia melanjutkan, bahwa dalam catatan ICW, hukuman penjara pada terpidana koruptor rata-rata masih berada pada titik terendah, yakni rata-rata 3 tahun 1 bulan untuk di tahun 2020. Sedangkan, pemulihan kerugian keuangan negara juga masih terus menjadi problematika klasik yang tak kunjung tuntas.
Kurnia memaparkan selama tahun 2020, kerugian keuangan negara selama setahun mencapai Rp 56 triliun, akan tetapi uang penggantinya hanya Rp 19 triliun.
"Tentu masih ingat bagaimana buruknya kualitas penegakan hukum di Kejaksaan Agung, ketika menangani perkara yang melibatkan oknum internalnya, misalnya, Pinangki Sirna Malasari. Belum lagi jika berbicara tentang lembaga kekuasaan kehakiman. Fenomena diskon untuk hukuman bagi para koruptor masih sering terjadi," katanya.