PARBOABOA, Jakarta - Bunuh diri mejadi masalah yang kian mengkhawatirkan, terutama di kalangan usia muda dan produktif.
Data dari WHO menyebutkan lebih dari 800 ribu orang meninggal akibat bunuh diri setiap tahunnya, dengan jumlah terbesar pada usia produktif.
Artinya, bunuh diri tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga memengaruhi keluarga dan masyarakat luas.
Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN, Indi Dharmayanti, menggarisbawahi bahwa kehilangan generasi produktif bukan hanya masalah individu, tetapi juga menyangkut hilangnya potensi generasi masa depan bangsa.
Sementara Yurika Fauzia Wardhani, peneliti di Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengungkapkan, kasus bunuh diri paling banyak terjadi pada kelompok usia remaja dan dewasa muda.
Yurika mengumpulkan data kasus bunuh diri sejak 2012 hingga 2023 dan mencatat bahwa lonjakan kasus terjadi terutama saat pandemi.
Dalam beberapa tahun terakhir, laporan bunuh diri di media sosial juga meningkat signifikan, menjadi indikator bahwa semakin banyak orang muda merasa tertekan dan rentan terhadap pikiran negatif.
Remaja sering kali menghadapi tekanan besar dari berbagai aspek kehidupan.Tuntutan untuk berprestasi di bidang akademis, harapan keluarga, hingga tekanan dari media sosial adalah beberapa faktor yang meningkatkan risiko depresi dan keinginan bunuh diri.
Banyak remaja yang harus menghadapi situasi sulit, seperti perubahan hormon dan emosi, yang diperburuk oleh tekanan dari lingkungan sekitar, baik dari keluarga maupun teman sebaya.
Yurika mengungkapkan bahwa masalah identitas diri juga menjadi pemicu utama.
Seiring perkembangan media sosial, remaja kini kerap terpapar standar kecantikan dan kesuksesan yang tidak realistis.
Mereka merasa kurang, terisolasi, atau bahkan tertekan oleh standar yang terus mereka bandingkan dalam dunia maya.
Ditambah lagi, cyberbullying menjadi tantangan baru yang berdampak buruk pada kesejahteraan mental.
Selain remaja, dewasa muda juga mengalami tekanan dari berbagai aspek kehidupan.
Mereka yang sedang memulai karier atau menempuh pendidikan tinggi sering kali merasa tertekan untuk memenuhi ekspektasi sosial dan ekonomi.
Kondisi ini memunculkan perasaan cemas dan terisolasi, terutama bagi mereka yang jauh dari keluarga.
Dalam sebuah survei oleh Alvara Research Center, ditemukan bahwa generasi Z (lahir antara 1997-2012) menunjukkan tingkat kecemasan lebih tinggi dibandingkan generasi milenial atau generasi X.
Penelitian lain yang dilakukan Azmul Fuady di Surabaya pada 2019, menemukan bahwa 58,1% mahasiswa memiliki kecenderungan untuk berpikir atau mencoba bunuh diri.
Kondisi ini menunjukkan bahwa mahasiswa, yang umumnya berada pada tahap awal dewasa, rentan terhadap stres yang dipicu oleh tekanan akademis, tuntutan finansial, dan ketidakmampuan untuk memenuhi standar pribadi maupun sosial.
Edukasi Kesehatan Mental
Upaya pencegahan bunuh diri sejatihnya membutuhkan pendekatan yang komprehensif.
Mulai dari pendidikan kesehatan mental, penyediaan layanan konsultasi, hingga dukungan sosial yang lebih baik.
Edukasi tentang keterampilan hidup dan pengaturan emosi sejak dini juga sangat penting.
Baru-baru ini, Edward Andriyanto Soetardhio, dosen di Fakultas Psikologi UI, menegaskan bahwa pendidikan tentang keterampilan hidup seperti pemecahan masalah dan pengaturan emosi sebaiknya dimasukkan dalam kurikulum sekolah.
Ketersediaan layanan kesehatan mental yang mudah diakses juga perlu ditingkatkan.
Di beberapa daerah, akses terhadap layanan ini masih sangat terbatas, sehingga banyak orang tidak mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan.
Dukungan keluarga, teman, dan komunitas juga memainkan peran penting. Edward menambahkan bahwa generasi muda saat ini cenderung lebih individualistis, terutama karena pengaruh teknologi.
Hubungan sosial yang lemah dapat membuat mereka merasa sendirian, bahkan di tengah keramaian.
Selain itu, stigma terhadap masalah kesehatan mental masih menjadi tantangan besar.
Banyak orang yang takut dicap buruk jika berbicara tentang perasaan depresi atau keinginan bunuh diri.
Edward menjelaskan bahwa banyak yang merasa malu untuk mencari bantuan karena khawatir dianggap tidak beriman atau bermoral rendah.
Penting bagi masyarakat untuk mengubah cara pandang ini, agar orang yang mengalami kesulitan emosional merasa aman dan nyaman untuk mencari dukungan.
Pendekatan yang holistik dengan melibatkan kampanye kesadaran dan dukungan emosional adalah langkah yang sangat diperlukan.
Dengan memahami berbagai faktor penyebab dan memberikan akses yang lebih baik ke layanan dukungan, kita dapat membantu mencegah bunuh diri dan membangun masa depan yang lebih sehat dan bahagia bagi generasi mendatang.
Editor: Norben Syukur