Dunia Usaha Jadi Pelanggar HAM Terbanyak Kedua, KemenHAM Luncurkan Sistem Pengawasan Baru Lewat Aplikasi PRISMA

Ilustrasi, hak asasi manausia (HAM). (Foto: Dok. Freepik)

PARBOABOA, Jakarta - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Hak Asasi Manusia (KemenHAM) mulai mengambil langkah tegas untuk menertibkan dunia usaha yang kerap menjadikan kepentingan ekonomi sebagai pembenaran atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Langkah ini ditandai dengan peluncuran regulasi dan sistem baru berbasis digital yang menandai babak baru pengawasan korporasi di tanah air.

Pemerintah melalui Kementerian Hak Asasi Manusia (KemenHAM) kini menunjukkan ketegasan dalam menegakkan prinsip kemanusiaan di sektor bisnis.

Tak ingin lagi melihat kepentingan ekonomi dijadikan dalih untuk merampas hak-hak dasar manusia, pemerintah meluncurkan regulasi baru mengenai Penilaian Kepatuhan Bisnis dan HAM bagi Pelaku Usaha.

Kebijakan ini menjadi instrumen hukum penting yang menandai era baru dalam tata kelola bisnis yang lebih beretika dan manusiawi di Indonesia.

Menteri HAM Natalius Pigai dalam pernyataannya di Jakarta, Sabtu (4/10/2025), menegaskan bahwa kebijakan tersebut lahir dari keprihatinan mendalam terhadap praktik bisnis yang selama ini sering mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.

Ia menyoroti maraknya eksploitasi tenaga kerja, perampasan lahan milik warga, serta pencemaran lingkungan oleh perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi tanpa memperhatikan dampak sosialnya.

“Bisnis tidak boleh menjadi alasan untuk melanggar kemanusiaan,” tegas Pigai.

Menurutnya, melalui regulasi ini, pemerintah ingin memastikan seluruh pelaku usaha di Indonesia memiliki kesadaran serta mekanisme internal untuk menghormati hak asasi manusia di setiap lini aktivitas bisnis.

Kekhawatiran pemerintah tersebut bukan tanpa alasan. Berdasarkan data Komnas HAM tahun 2024, tercatat sebanyak 2.305 laporan dugaan pelanggaran HAM, dan dari jumlah itu, 321 aduan atau sekitar 13,9 persen melibatkan korporasi atau perusahaan swasta sebagai pihak teradu.

Angka ini menempatkan dunia usaha sebagai pelanggar HAM terbesar kedua di Indonesia, setelah institusi kepolisian yang menempati posisi pertama dengan 412 laporan.

Data ini mencerminkan masih lemahnya kesadaran tanggung jawab sosial dan kemanusiaan di kalangan pelaku bisnis nasional.

Pigai menilai, kondisi tersebut menggambarkan adanya krisis moral dalam dunia usaha yang masih memandang manusia semata sebagai alat produksi.

“Kita bicara tentang perusahaan yang mempekerjakan buruh tanpa perlindungan, merusak lingkungan hidup, hingga menggusur masyarakat adat demi proyek ekonomi. Itu semua bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi pelanggaran kemanusiaan,” ujarnya.

Ia menekankan, perubahan paradigma bisnis menjadi keharusan jika Indonesia ingin menegakkan prinsip keadilan sosial di tengah pembangunan ekonomi yang pesat.

Sebagai tindak lanjut konkret, KemenHAM meluncurkan aplikasi PRISMA (Penilaian Risiko Bisnis dan HAM) — sebuah platform digital yang dirancang untuk membantu perusahaan melakukan evaluasi mandiri terhadap potensi pelanggaran HAM di lingkup operasional mereka.

Melalui PRISMA, pelaku usaha dapat menilai sejauh mana kegiatan mereka berdampak pada hak-hak manusia dan lingkungan sosial di sekitarnya.

“Kami ingin pelaku usaha tidak sekadar mengejar keuntungan, tapi juga bertanggung jawab atas dampak sosial dan kemanusiaan dari operasinya,” ujar Pigai.

Aplikasi PRISMA disusun sejalan dengan United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs), standar global yang menuntut perusahaan menghormati hak asasi manusia dalam setiap praktik bisnis.

KemenHAM berharap, kehadiran sistem ini menjadi momentum penting bagi dunia usaha Indonesia untuk bertransformasi menjadi lebih beretika, transparan, dan berpihak pada kemanusiaan.

Dengan demikian, pembangunan ekonomi nasional di masa depan tidak lagi bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia, melainkan berjalan beriringan demi kesejahteraan bersama.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS