Empty Nest Syndrome: Menghadapi Kehilangan dan Kebanggaan Seorang Ibu

Ilustrasi kondisi Ibu yang mengalami empty nest syndrome, (Foto: Web. theasianparent)

PARBOABOA, Jakarta - Seorang anak akan ada waktunya untuk pergi meninggalkan rumah, apakah untuk melanjutkan pendidikan, bekerja di luar kota, menikah atau membangun kehidupan mandiri tanpa campur tangan orang tua. 

Namun situasi ini sering kali menjadi saat emosional bagi orang tua terutama seorang ibu.

Ada campuran perasaan bangga, lega, dan sedih yang menyelimuti hati seorang ibu ketika melihat anaknya tumbuh dewasa dan siap menghadapi dunia.

Namun, dibalik kebanggaan itu, ada juga rasa kehilangan yang mendalam, suatu perasaan yang sering disebut sebagai empty nest syndrome atau sindrom sarang kosong.

Empty nest syndrome adalah kondisi psikologis dan emosional yang dialami orang tua, terutama ibu, saat anak-anak mereka meninggalkan rumah.

Masalah ini dapat berdampak pada kondisi psikologis seseorang, bahkan berpotensi menyebabkan stres, terutama bagi mereka yang memasuki usia madya, antara 40 hingga 60 tahun.

Pada masa ini, orang tua, khususnya ibu, sering mengalami perubahan besar dalam rutinitas sehari-hari, seperti:

Dalam jurnal yang ditulis oleh Putri, H.A. Dkk (2023), hasil wawancara dengan beberapa ibu yang mengalami sindrom sarang kosong mengungkapkan berbagai pengalaman. 

Ibu S mengalami kecemasan dan kesedihan berlebihan setelah anaknya meninggalkan rumah (pendidikan), dimana kebiasaan atas perpisahan tersebut mempengaruhi kondisi emosionalnya.

Sementara ibu N mengungkapkan bahwa status pernikahan juga berperan penting dalam sindrom sarang kosong, karena kepergian anak membuatnya kehilangan teman untuk berbagi cerita.

Ibu R mengungkapkan perbedaan peran sebagai ibu rumah tangga setelah pensiun dibandingkan saat masih bekerja. Ia merasa lebih sedih dan kesepian setelah pensiun, terutama setelah kepergian anaknya, yang tidak begitu dirasakannya saat masih bekerja di kantor.

Berdasarkan hal diatas, perlu bagi orangtua untuk mengisi waktu luang seperti; mengejar hobi yang sempat terabaikan, berkebun, menulis, bepergian, atau aktif dalam kegiatan sosial dan komunitas. 

Karena ketika anak-anak masih tinggal di rumah, seorang ibu terbiasa dengan rutinitas harian, mulai dari menyiapkan sarapan hingga mengurus hal-hal kecil dalam keseharian mereka. 

Namun, saat anak-anak mulai meninggalkan rumah, rutinitas tersebut hilang, sehingga menciptakan kekosongan yang bisa memicu perasaan kehilangan dan stres bagi sang ibu.

Kehadiran mereka membuat rumah terasa hidup dan penuh aktivitas. Namun, saat anak-anak pergi, keheningan tiba-tiba menyelimuti rumah. 

Suara tawa yang biasa terdengar kini menghilang, dan ruang-ruang di rumah tampak kosong tanpa kehadiran mereka.

Bagi banyak ibu, perasaan kehilangan ini bisa terasa sangat berat. Mereka mungkin merasa kehilangan peran yang selama ini menjadi bagian dari identitas mereka. 

Hubungan dengan anak yang selama bertahun-tahun dibangun, kini berubah dari interaksi sehari-hari menjadi komunikasi jarak jauh. 

Meskipun teknologi memungkinkan ibu dan anak untuk tetap berhubungan, tidak ada yang bisa menggantikan kehadiran fisik anak-anak di rumah.

Namun, di balik rasa kehilangan tersebut, ada perasaan bangga yang terselip. 

Melihat anak-anak yang dulu mereka besarkan dengan penuh kasih sayang kini mampu berdiri sendiri adalah sebuah pencapaian yang luar biasa. 

Kemandirian anak-anak merupakan bukti dari cinta dan kerja keras orang tua selama bertahun-tahun. 

Meskipun ada perasaan bangga, rasa rindu dan sedih tetap sering muncul saat mengenang momen-momen indah ketika anak-anak masih kecil, seperti mengantar mereka ke sekolah atau mendengarkan cerita sebelum tidur.

Situasi ini bukan hanya tentang anak yang tumbuh dewasa, tetapi juga tentang ibu yang harus menyesuaikan diri dengan peran baru dalam kehidupannya.

Berdasarkan hal diatas, perlu bagi orangtua untuk mengisi waktu luang seperti; mengejar hobi yang sempat terabaikan, berkebun, menulis, bepergian, atau aktif dalam kegiatan sosial dan komunitas. 

Ini adalah fase transisi yang menantang, tetapi juga memberikan kesempatan bagi seorang ibu untuk menemukan kebahagiaan baru.

Meskipun perasaan sendu bisa terasa menyakitkan pada awalnya, seiring berjalannya waktu, banyak ibu menemukan kebahagiaan dalam hubungan yang lebih dewasa dengan anak-anak mereka. 

Kini, interaksi dengan anak-anak bukan lagi seputar tanggung jawab mengurus, melainkan lebih kepada dukungan emosional dan persahabatan. Saat anak-anak kembali berkunjung, momen tersebut menjadi lebih spesial dan penuh makna.

Anak-anak yang meninggalkan rumah bukan berarti hubungan dengan ibu menjadi renggang. Justru sebaliknya, ikatan tersebut sering kali tumbuh semakin kuat, dihiasi dengan rasa saling menghargai atas semua yang telah dilalui bersama.

Editor: Rista
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS