PARBOABOA, Jakarta - Penanganan perkara penggunaan narkotika di lingkungan peradilan mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun.
Faktanya, terdapat situasi kelebihan penghuni (overcrowding) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan).
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tahun 2021, jumlah penghuni Rutan dan Lapas di Indonesia mencapai 266.828 orang, jauh melampaui kapasitasnya, yaitu 135.561 orang.
Pada April 2022, jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) mencapai angka 273.822 orang, di mana sebanyak 135.758 di antaranya terlibat dalam kasus narkotika.
Secara keseluruhan, 49,57% dari total WBP merupakan pelaku tindak pidana narkotika, dan di antara 135.758 pelaku tersebut, 120.042 atau 88% adalah pengguna dan bukan pengedar.
Kondisi tersebut menunjukkan tingginya populasi pengguna narkotika yang mendekam di penjara sehingga berdampak memperparah masalah kelebihan kapasitas.
Menurut penelitian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), persoalan kelebihan kapasitas terkait erat dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (UU Narkotika) yang multi-tafsir.
Hal ini timbul akibat tidak adanya batasan yang jelas antara peran pengguna dan pengedar narkotika. Akibatnya, tercipta inkonsistensi dalam penerapan hukum.
"UU Narkotika kurang jelas dalam membedakan antara pengguna dan pengedar, sehingga kerap memicu inkonsistensi dalam penerapan hukuman," tulis Siti Ismaya dan kawan-kawan IJRS (2024).
Sebagai contoh, lanjut Siti, "Pasal 111 dan 112 mengenai kepemilikan narkotika sering kali diterapkan pada pengguna atau pemakai dan bukan pengedar".
Serupa, penelitian Indonesia Judicial Research Society (IJRS) menemukan adanya disparitas pemidanaan pada kasus narkotika, di mana kasus serupa dapat menghasilkan hukuman yang berbeda.
Disparitas ini mencapai 65,8% pada kasus peredaran gelap (Pasal 111-116 UU Narkotika) dan 62,9% pada kasus penyalahgunaan narkotika (Pasal 127 UU Narkotika), yang tentu merugikan pencari keadilan.
Guna mengatasi masalah tersebut, Kejaksaan Republik Indonesia telah menerbitkan Pedoman Nomor 11 Tahun 2021 terkait penanganan kasus narkotika dan prekursor narkotika.
Pedoman ini berlaku selama sekitar 1 tahun 5 bulan sebelum dicabut pada Desember 2022 melalui Surat Edaran Nomor B-228/A/Ejp/12/2022.
Surat tersebut berisi kritikan terkait potensi disparitas tuntutan bagi pelaku dengan tingkat kesalahan yang sama dan dikhawatirkan dapat mencederai rasa keadilan masyarakat.
Pedoman 11/2021 mencakup sejumlah hal penting, termasuk pembagian peran antara pengedar dan pengguna narkotika, serta pedoman tuntutan dalam perkara narkotika.
Selain itu, Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 juga memperkenalkan pendekatan rehabilitasi bagi pengguna narkotika sebagai bagian dari asas keadilan restoratif.
"Pedoman 11/2021 diharapkan membantu menjaga konsistensi penanganan kasus narkotika dengan memberikan acuan bagi jaksa dalam proses prapenuntutan, penuntutan, pembuktian, hingga tuntutan pidana," tegas Siti.
Pada tahapan penuntutan, terdapat panduan untuk jaksa dalam menentukan jenis serta berat ringannya hukuman berdasarkan kualifikasi tindak pidana, peran terdakwa, jenis dan jumlah barang bukti, serta kondisi khusus lainnya.
Lebih jauh, pedoman tersebut juga mendorong pemberian alternatif sanksi bagi pengguna narkotika selain pemenjaraan, dengan menyertakan pidana bersyarat sebagai opsi.
Melalui tahapan yang seragam, inkonsistensi penerapan hukum dan disparitas tuntutan dalam kasus narkotika diharapkan dapat ditekan, demi tercapainya rasa keadilan serta kepastian hukum bagi masyarakat.
Tugas Lain
Penanganan kasus narkotika tidak berhenti pada aspek hukum dan kebijakan. Dalam praktik di lapangan, berbagai kendala juga kerap dihadapi aparat penegak hukum.
Kendala-kendala tersebut, antara lain soal keterbatasan sumber daya serta proses rehabilitasi yang belum optimal.
Hingga kini, jumlah fasilitas rehabilitasi di Indonesia masih belum memadai untuk menampung seluruh pengguna narkotika yang memerlukan penanganan khusus di luar lapas.
Selain itu, lembaga pemasyarakatan juga mengalami keterbatasan dalam penyediaan program rehabilitasi yang komprehensif.
Berdasarkan data Kementerian Sosial, hanya sekitar 82.954 pengguna narkotika yang mendapatkan akses rehabilitasi medis dan sosial selama 5 (lima) tahun terakhir (2014-2019).
Hal ini menyebabkan para pengguna narkotika yang menjalani hukuman di penjara berpotensi kembali terjerumus dalam penyalahgunaan narkotika setelah dibebaskan.
Menurut hasil survei dari Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2023, angka residivisme untuk kasus penyalahgunaan narkotika mencapai 39%.
Persentase tersebut menunjukkan bahwa pendekatan kurungan tanpa rehabilitasi tidak cukup efektif dalam menekan angka penyalahgunaan narkotika di masyarakat.
Pemerintah pun telah merespons kondisi ini dengan menyusun strategi baru dalam revisi UU Narkotika yang mencakup perbaikan sistem rehabilitasi dan perluasan kerja sama dengan lembaga internasional.
Melalui langkah ini, diharapkan Indonesia dapat mengadopsi best practice dari negara lain dalam menangani kasus narkotika, khususnya dalam memisahkan pengguna dan pengedar agar lebih konsisten dengan asas keadilan restoratif.
Langkah-langkah tersebut diharapkan dapat memperkuat implementasi asas keadilan restoratif yang tercantum dalam Pedoman 18/2021 dan sejalan dengan semangat UU Narkotika yang baru.
Revisi ini juga diharapkan dapat menurunkan angka overcrowding di lapas melalui pendekatan yang menitikberatkan pada rehabilitasi bagi pengguna narkotika serta penyederhanaan proses hukum bagi para pelaku penyalahgunaan yang tergolong ringan.