PARBOABOA, Jakarta - Wacana sistem pemilihan umum (pemilu) proporsional tertutup dan terbuka masih menjadi perbincangan hangat di kalangan pegiat politik. Perdebatan antara sistem mana yang terbaik kian memanas jelang Pemilu 2024.
Direktur Eksekutif Progresif Demokrasi Watch Fauzan Irvan mengatakan, sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup sudah pernah diterapkan. Keduanya memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Menurutnya, pembentuk Undang-undang seharusnya membuat sistem pemilu yang baru di jauh hari sehingga tak menimbulkan polemik saat salah satu sistem dinyatakan bertentangan dengan prinsip demokrasi yang baik.
“Kenapa kita tidak memikirkan sebuah sistem baru yang belum pernah ada di republik ini daripada kita memperdebatkan terbuka atau tertutup yang memang itu sudah pernah kita gunakan keduanya,” ucapnya dalam diskusi di Gedung DPP Partai Mahasiswa Indonesia, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (27/01/2023).
Ia menyebut, sistem baru tersebut dapat diciptakan untuk mengisi setiap kekurangan yang ada pada masing-masing sistem.
Lebih lanjut, kata dia, baik itu sistem proporsional tertutup maupun sistem proporsional terbuka tetap berpotensi money politic.
“Mau terbuka atau tertutup, pasti ada money politicnya,” ujarnya.
Ia juga mengkritik narasi proporsional tertutup yang pertama kali mencuat dari Ketua Umum Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia Hasyim Asyari pada pertengahan Oktober 2022 lalu.
Menurutnya, narasi tersebut tak seharusnya keluar pada saat seluruh tahapan pemilu sudah berjalan dengan baik.
“Sehingga ini memungkinkan akan memunculkan kegaduhan-kegaduhan yang kontraproduktif,” kata Fauzan.
Hal senada juga diungkapkan Aktivis 98 akan Jan Prince Permata, ia menilai, perdebatan pemilu terbuka maupun tertutup merupakan peluang untuk menciptakan sistem pemilu yang baru. Pasalnya, kedua sistem yang ada saat ini mempunyai argumen yang kuat untuk dipakai pada pemilu 2024 mendatang.
"Ini menjadi suatu peluang untuk melahirkan sebuah sistem baru, supaya kita tidak berdebat. Karena memang tertutup argumentasinya kuat, terbuka juga kuat," ucap Jan.
Jan berpendapat, pemilu tertutup akan membuat partai memilih calon pemimpin yang sesuai dengan program maupun ideologi partai. Kemudian, partainya yang akan memberikan tindakan jika calon yang dipilihnya tidak menjalankan ideologi partai.
"Kalau dengan sistem tertutup, mereka (partai) meyakinkan partai mengenal (calon), mereka berani menempatkan caleg yang dia sodorkan itu mengetahui program partai, ideologi partai. Ketika dia tidak menjalankan yang diemban partai, partai bisa memberikan punishment,"
Namun, dengan digunakannya sistem pemilu tertutup, pemilih tidak dapat menentukan siapa orang yang akan memimpinnya.
"Tetapi negatifnya dari sistem tertutup ini memang masyarakat nggak bisa menentukan," ujar Jan.
Sementara itu, Sekjend Dewan Perwakilan Pusat GMNI M Ageng Dendy Setiawan berpendapat, sistem pemilu proporsional tertutup memiliki kelemahan di sisi kader yang punya relasi dengan elit partai.
Sementara pada sistem proporsional terbuka, Ageng menyoroti kualitas calon yang berasal dari kalangan pebisnis dan artis yang memiliki unggul dalam modal dan popularitas ketimbang kader lainnya.
Merujuk pada penelitian LIPI yang bertajuk ‘Peta Pebisnis di Parlemen: Potret Oligarki di Indonesia’, 6 dari 10 atau sekitar 55% anggota DPR terpilih pada Pemilu 2019 berasal dari kalangan pebisnis.
Kendati demikian, Ageng tak mempermasalahkan latar belakang calon selama mempunyai prinsip keberpihakan kepada rakyat dan kapasitas pemahaman berkebangsaan yang baik.
Ageng menyimpulkan, baik pemilu proporsional tertutup maupun terbuka, partai politik harus selektif untuk memilih caleg yang berkualitas.
"Seharusnya partai selektif, untuk kemudian memasukkan caleg-calegnya yang berkualitas untuk bertempur," ucap Ageng.
“Sehingga kalau kita mendiskusikan mana yang terbaik, seharusnya kita menciptakan solusi baru yang bisa menutupi kekurangan dari (proporsional) terbuka dan bisa menutupi kekurangan dari tertutup,” tandasnya.
Editor: -