PARBOABOA, Jakarta - Suatu subuh, Selasa (20/8/2024), kejadian tak terduga mengguncang ketenangan warga Kampung Rambutan, Ciracas, Jakarta Timur.
Berawal ketika seorang warga mendengar suara tangisan bayi dari belakang rumahnya, di Kompleks Perumahan Warga, RT 01/RW 06, Kampung Rambutan.
Rasa penasaran lalu membawanya menuju sumber suara itu. Sesampainya disana, ia menemukan sebuah tas hitam yang tampak mencurigakan.
Saat tas itu dibuka, alangkah terkejutnya ia karena di dalamnya ada seorang bayi laki-laki yang baru saja dilahirkan.
Berita ini kemudian menyebar cepat dan tak lama setelahnya pihak kepolisian dari Polres Metro Jakarta Timur (Jaktim) datang ke lokasi.
Dalam waktu singkat, polisi berhasil menemukan ibu dari bayi tersebut, seorang wanita berinisial EIL. Dari hasil penyelidikan, diketahui bahwa EIL melahirkan bayinya sendiri dan dalam keadaan yang penuh tekanan.
EIL, berdasarkan keterangan Kasi Humas Polres Metro Jakarta Timur, AKP Lina Yuliana, memutuskan untuk meninggalkan bayinya di tempat itu, berharap ada orang lain yang akan menemukannya.
Kini, EIL harus menghadapi hukuman atas perbuatannya. Ia telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh polisi.
Ia dijerat pasal berlapis, antara lain Pasal 78 b jo Pasal 77 b UU RI Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan atau Pasal 76 C jo Pasal 80 UU Nomor 35 tahun 2014.
Termasuk "Pasal 307 KUHP jo Pasal 305 KUHP dengan ancaman hukuman sembilan tahun penjara dan atau Pasal 531 KUHP dengan ancaman tujuh tahun penjara," ujar Lina AKP Lina Yuliana.
Adapun sang bayi, saat ini tengah dirawat intensif di Puskesmas Ciracas di bawah pengawasan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Metro Jaktim.
Empat hari sebelumnya, kejadian serupa terjadi di Bogor, Jawa Barat.
Jumat Siang, (16/8/2024) dua warga yang sedang berjalan menuju tempat kerja mendengar tangisan bayi di sebuah kebun kosong di Kampung Waru Jaya, Desa Waru Jaya, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor.
Ketika mereka mendekati sumber suara, mereka menemukan seorang bayi tergeletak di tanah dalam kondisi yang memprihatinkan.
Tanpa ragu, mereka segera membawa bayi tersebut ke klinik terdekat untuk mendapatkan perawatan.
Setelah diperiksa, bayi itu ternyata baru saja dilahirkan, dengan perkiraan usia sekitar tujuh jam dan berat badan mencapai 2,5 kilogram.
Meskipun kondisinya lemah, tidak ditemukan luka-luka pada tubuhnya. Lalu setelah dipastikan sehat, bayi tersebut dibawa ke Puskesmas Parung oleh Dinas Sosial Kabupaten Bogor.
Dari hasil penyelidikan, pelaku pembuang bayi adalah ibu kandungnya sendiri, DS, 30 tahun. Ia mengaku membuang bayinya setelah melahirkan.
DS menaruh bayi dalam keranjang buah di atas sepeda motor sebelum meninggalkannya di pinggir jalan.
Motif di balik tindakan ini adalah rasa takut dan malu karena bayi tersebut merupakan hasil dari hubungan di luar nikah dengan pacarnya, S.
DS merasa tertekan oleh aib yang bisa mencemarkan namanya, sehingga nekat melakukan tindakan tersebut.
Akibat perbuatannya, DS dijerat dengan Pasal 77 Jo pasal 76B UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak serta Pasal 305 KUHP.
Kasus di Ciracas dan Bogor hanyalah fenomena gunung es dari begitu banyaknya kasus ibu buang bayi di sejumlah daerah di Indonesia.
Lebih memprihatinkan, dalam beberapa kasus, tidak sedikit juga ibu membunuh bayi lalu membuangnya. Kondisi ini membutuhkan perhatian serius banyak pihak, untuk memastikan adanya penghargaan terhadap kehidupan.
Sejumlah Soal di Balik Ibu Buang Bayi
Ibu buang bayi sebaiknya tidak langsung dihakimi. Dalam banyak kasus, mereka terpaksa melakukan hal itu karena kondisi tertekan dan ketidakberdayaan, sebagaimana dialami dua perempuan di atas.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mengungkapkan ada empat faktor utama yang menyebabkan orang tua tega membuang atau bahkan membunuh bayinya.
Faktor pertama adalah ketidaksiapan mental orang tua dalam menghadapi tanggung jawab memiliki anak. Ketidaksiapan ini sering kali dipengaruhi oleh masalah ekonomi dan tekanan lainnya.
Faktor kedua berkaitan dengan hubungan terlarang, di mana pasangan pranikah mungkin merasa bahwa membuang bayi mereka akan menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Faktor ketiga yang diidentifikasi oleh Komnas PA adalah pergaulan bebas, terutama di kalangan remaja yang masih labil secara psikologis.
Pergaulan ini dapat memicu kehamilan yang tidak diinginkan, sehingga mendorong tindakan yang nekat seperti pembuangan bayi.
Faktor keempat, dan yang paling tragis, adalah ketika bayi tersebut merupakan hasil dari pemerkosaan. Dalam situasi ini, rasa takut dan malu sering kali membuat pelaku memilih untuk menghilangkan jejak dengan cara membuang atau bahkan membunuh bayi tersebut.
Komnas PA menekankan pentingnya memahami bahwa bukan hanya wanita yang harus disalahkan dalam situasi seperti ini, melainkan pria yang terlibat juga harus dimintai pertanggungjawaban hukum.
Untuk mengatasi masalah ini, Komnas PA sebenarnya telah mengkampanyekan agar individu atau pasangan yang tidak siap memiliki anak untuk tidak membuang atau membunuh bayi tersebut. Sebaliknya, mereka disarankan untuk menitipkan bayi ke panti sosial milik pemerintah.
Namun, Komnas PA juga mengakui bahwa proses menitipkan bayi ke panti sosial sering kali dipersulit oleh birokrasi yang berbelit-belit.
Panti-panti tersebut biasanya meminta kejelasan tentang latar belakang keluarga bayi, anggaran kebutuhan, serta dokumen lainnya.
Komnas PA berharap agar panti-panti sosial lebih mempermudah proses ini, sehingga bayi-bayi yang tidak diinginkan dapat tetap mendapatkan hak hidup yang layak tanpa harus melalui proses yang rumit.
Anomali
Sementara itu, dalam sebuah keterangan, Psikolog Tika Bisono melihat peristiwa pembuangan bayi sebagai sebuah anomali yang mencerminkan ketidaksehatan mental dan moral pelaku.
Menurutnya, tindakan ini mungkin terjadi karena pelaku berada dalam keadaan yang sangat bingung, frustasi dan tidak stabil secara emosional. Kondisi ini membuat perilaku mereka menjadi kontrasosial dan menyimpang.
Tika menjelaskan bahwa orang tua yang membuang bayinya mungkin merasa tidak memiliki tempat untuk mengadu atau mencari bantuan.
Ketika keluarga, sahabat, atau pihak lain yang dapat dipercaya tidak hadir untuk memberikan dukungan, mereka akhirnya melihat pembuangan bayi sebagai satu-satunya jalan keluar.
Dalam situasi seperti ini, sistem moral, empati, emosi, dan rasa tanggung jawab mereka menjadi sangat lemah, bahkan keimanan pun turut terganggu.
Akumulasi stres akibat tekanan hidup yang berat membuat mereka memandang kehamilan sebagai kutukan, bukan sebagai anugerah.
Akibatnya, bayi yang seharusnya dicintai justru dianggap sebagai beban atau sumber masalah yang harus dihilangkan.
Keterikatan emosional antara ibu dan anak menjadi rusak, dan dalam beberapa kasus, kata dia, mungkin telah ada upaya sebelumnya untuk menggugurkan kandungan tapi tidak berhasil.
Tika menekankan pentingnya peran keluarga, komunitas seperti RT/RW, dan pemuka agama dalam merangkul ibu-ibu muda yang berada dalam tekanan.
Apapun alasan di balik kehamilan yang tidak diinginkan, dukungan dari lingkungan terdekat sangatlah penting untuk menenangkan dan mendampingi mereka.
Ia juga mengkritik kurangnya kontribusi negara dalam melindungi perempuan dan mendukung ibu-ibu yang terjepit dalam situasi sulit.
Tika berharap negara dapat memberikan perhatian lebih besar, dengan mengarahkan ibu-ibu ini untuk tetap melahirkan dan membesarkan anak-anak mereka.
Jika pun mereka merasa tidak mampu membesarkan anak, ada alternatif lain seperti rumah yatim piatu atau dukungan dari lembaga-lembaga sosial yang tersedia, sehingga pembuangan atau pembunuhan bayi tidak lagi terjadi
Editor: Gregorius Agung