Tembok Pemisah Pram dengan Putra Dambaan Tiada Lain Luka Batin

Yudi (kanan) bersama keponakannya, Angga (kiri). (Foto: PARBOABOA/P. Hasudungan Sirait)

Mengenang Judistira Ananta Toer (29 Juni 1965 – 30 Juni 2024)

PARBOABOA - Pramoedya Ananta Toer (Pram) sangat mendambakan putra. Ia sudah beranak enam tapi tanpa laki-laki. Itu pasalnya.

Dari Arvah Iljas, istri pertama yang kemudian menceraikan dirinya karena penghasilan yang tak menentu, ia beroleh Ros, Nenny, dan Etty. Sedangkan dari Maemunah ia mendapatkan Astuti (Titi), Rina, Rita, dan Yana.

Tatkala Maemunah mengandung untuk kali pertama, Pram sudah mengutarakan dambaannya. Itu diulangnya dengan kesungguhan yang terus bertambah saban pasangannya hamil lagi.

Sang istri menimpali dengan ujaran serupa: “Lelaki dan perempuan sama saja. Yang penting sehat dan selamat. Jangan terlalu berharap.... takut nanti ada apa-apa.”

Sebenarnya Maemunah pernah mengandung anak laki-laki. Tapi orok itu meninggal dalam kandungan. Saat keluar ia telah menghitam.

Saat Maemunah mengandung untuk kali kelima, Pram bukan hanya mendamba lagi tapi sudah berbicara dengan nada keras.

Seperti yang pernah dikisahkan Titi (buku Pram Melawan, terbitan tahun 20110), sastrawan besar itu berkata: “Terakhir ini! Kalau tidak lahir laki-laki, aku kawin lagi.”

Tapi, ia juga seperti bernazar pula. “Kalau anak ini lahir laki-laki aku tidak akan ke mana-mana selama sekian tahun,” ucapnya seperti ditirukan oleh Titi.

Pada 29 Juni 1965, di sebuah rumah sakit di kota yang merupakan milik keluarganya, keponakan pahlawan nasional Husni Thamrin itu pun melahirkan. Ternyata lelaki!

Pram girang bukan alang kepalang. Saban hari ia menyanyi dan menyanyi. Saat mengerjakan tulisan pun. Bahwa lengking suaranya terdengar oleh para tetangga, ia tak peduli.

Sepulang dari tempat persalinan, Maemunah memulihkan badan di rumah orang tuanya di bilangan Kota. Ketiga anak kandung menyertainya.

Pram tidak disertai anak-istri saat rombongan pemuda bertopeng mendatangi kediamannya di Rawamangun pada 13 Oktober 1965. Tak lama berselang sepasukan tentara ternyata muncul pula.

Berdua saja Pram dengan Koesalah Toer di sana kala itu. Calon doktor, sang adik sedang pulang ke Indonesia dari Moskow untuk meriset ihwal bahasa Indonesia.

Tak hanya merampasi isi rumah, para serdadu itu juga menganiaya. Seingat Pram, seorang bernama Koptu Sulaiman telah memukuli dia saat itu hingga dirinya menjadi setengah tuli untuk selamanya. Senjata laras panjanglah yang digunakan untuk memopor.

Pram dan Koesalah diangkut ke Kodam. Di sana aniaya berlanjut.

Dari Kodam, penulis Perburuan, Keluarga Gerilya, dan Bukan Pasar Malam dibawa ke markas Polisi Militer di Jl. Guntur, Jakarta. Sesudahnya ia ditempatkan di penjara Cipinang hingga Desember 1965.

Dari Cipinang ia dialihkan ke bui Tangerang yang atmosfirnya jauh lebih garang. Setelah beberapa bulan mendekam di sana dikembalikan lagi ke Cipinang.

Pada 1969 ia dikirim ke Nusa Kambangan. Tempat pembuangannya yang paling lama tidak lain dari Pulau Buru, Maluku. Sebagai tahanan politik (Tapol), 10 tahun (Agustus 1969 hingga November 1979) ia menjadi manusia bubu di sana.

Total, 14 tahun Pram membui. Jadi, anak lelaki semata wayangnya yang lahir pada 29 Juni 1965, sekitar tiga setengah bulan saja sempat dicengkramainya.

Anak bernama Yudistira Ananta Toer telah remaja tatkala penulis novel Cerita dari Blora dan yang lain akhirnya pulang ke rumah pada 1979. Segera akrabkah keduanya? Ternyata sebaliknya.

Diusir

Saat usianya masih tiga setengah bulan Yudi sudah ditinggal sang ayah yang harus menjalani masa hukuman. Wajar jika dia lebih dekat dengan ibu yang memang lembut dan cenderung memanjakannya. Sedari dulu mereka selalu tidur sekamar berdua.

Kebiasaan tidur bareng ternyata harus berakhir begitu Pram selesai menjalani pembuangan 14 tahun. Sesuatu yang tak pernah dibayangkan Yudi pun terjadi dan terjadi.

“Pas pagi-pagi, saya udah ada di kamar mandi. Diguyur sama Papi. ‘Kamu harus bangun pagi!’ katanya. Saya enggak tahu; mungkin maksudnya jangan tidur di situ lagi. Saat itu pikiran saya enggak sampai ke situ.”

Besoknya Yudi tidur lagi di sebelah ibunya. Eh, malam-malam dia dibangunkan.

“Papi bilang: ‘Mulai malam ini kamu tidur di paviliun!’” Sambil tertawa renyah Yudi mengisahkan kejadian itu ke kami yang datang bertamu ke Jl. Multi Karya II, Utan Kayu, pada 18 Juni 2024

Meski awalnya sulit menerima keputusan itu karena sejak kecil terbiasa tidur bersama ibu, lama kelamaan akhirnya dia realistis juga. 

Ada kejadian lain di masa awal kepulangan sang ayah yang membuat dia sempat terperanjat dan kebingungan.

Yudi ngegowes. (Foto: Dokumen Pribadi)

Seperti biasa, si remaja yang sudah menghuni kamar sebelah menghidupkan tape recorder kencang-kencang. Ia lantas asyik menikmati musik rock kesukaannya.

Tiba-tiba saja pintu kamarnya digedor keras-keras. Bahkan ditendang pula. Saat pintu dikuaknya, tampaklah sang ayah berdiri garang sembari bertolak pinggang. Sambil memainkan bahasa tubuh, pengarang besar itu menyatakan kupingnya terganggu oleh suara berisik.

Anak lelaki semata wayang pun kian sadar bahwa sejumlah aturan baru telah diberlakukan di rumah mereka secara sepihak oleh Papi, si ‘orang asing’ yang baru saja bergabung. Ngegelendot ke Mami tak boleh lagi. Pun aksi bermanja-manja lainnya. Harus menjadi lelaki dewasa kendati usia masih remaja.

Berat nian, regulasi baru itu. Begitupun, Yudi tidak memprotes apalagi melawan kendati jiwanya meronta.

Tembok pemisah yang kian hari bertambah menebal pun memperantarai keduanya. Itulah yang terjadi. Penyebabnya tiada lain dari luka batin.

Batin Yudi kian terluka akibat sikap keras Pram yang sama sekali tak pernah dibayangkannya. Padahal, yang lama saja belum sembuh.

Sebelumnya, sebagaimana ghalibnya anggota keluarga tapol, ia telah merasakan perundungan (bully), tekanan, intimidasi, dan bahkan teror dari ‘kaum pemenang’. Tembok rumah mereka pernah dibubuhi tulisan PKI berukuran besar.

Di sekolah ia dimusuhi teman-temannya, termasuk yang anak militer. Ia pernah dimasukkan ke markas tentara dan sekeluar dari sana wajahnya bengap-bengap. Jidat kakaknya pernah ditempeli pistol; kemungkinan itu juga pernah terjadi pada dirinya.

Batin Pram terluka parah akibat kezaliman Orde Baru yang 14 tahun dialaminya. Sepulang dari Pulau Buru dia bukan ayah yang periang dan penyayang lagi.

Sebaliknya: seorang pemberang yang sering tak sabaran dan salah pengertian. Hanya ke Titi ia tak berubah. Soalnya, si sulung selalu berusaha mengerti dia.

Sebelum membui, Pram seorang ayah penyayang yang mengurusi langsung anak-anaknya. Celana-baju Titi dan adik-adiknya dibuatkannya sendiri.

Buah pertama pernikahannya dengan Maemunah itu dimandikan dan diajarinya tanpa perantara saat masih bocah. Keduanya tidur bareng pula.

Tugas Maemunah praktis memasak saja. Anak-anak sudah harus tidur pukul 20.00. Begitu Titi dan adik-adiknya telah lelap, pasangan ini akan kelayapan di Jakarta dengan menunggangi sepeda motor. Saat itu Pram masih penyuka dan pemilik mogor gede (moge).

Ketulian sebelah telinga akibat popor senjata Koptu Sulaiman termasuk faktor penting yang menghilangkan kehangatan dan keceriaan Pram.

Menjadi sulit ia berkomunikasi. Kalau berujar suaranya keras-keras sehingga bisa dikira marah-marah oleh mereka yang tak mengetahui latar sejarah.

Pendengaran yang payah membuat dia sering salah mengartikan ucapan orang serumah. Tersinggung dia kemudian dan mimiknya berubah seketika menjadi sangar. Orang lain, termasuk anak-anaknya, pun gentar.

Bersambung...

Reporter: Rin Hindryati dan P. Hasudungan Sirai

Editor: Rin Hindrayati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS