PARBOABOA, Jakarta - Presiden terpilih Prabowo Subianto diperkirakan mengalami masa sulit di awal masa kepemimpinannya sebagai orang nomor satu Indonesia.
Pasalnya, Prabowo akan menanggung utang warisan pemerintah Joko Widodo (Jokowi) yang tercatat mencapai triliunan rupiah.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan, hingga Agustus 2024, total utang tercatat mencapai Rp 8.461,93 triliun atau setara dengan 38,49% dari produk domestik bruto (PDB).
“Rasio utang per akhir Agustus 2024 yang mencapai 38,49% terhadap PDB, tetap konsisten terjaga di bawah batas aman 60% PDB sesuai UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,” tulis Kemenkeu dalam Buku APBN KiTA , Jumat (27/09/2024). 2024).
Dengan kondisi demikian, ruang gerak Prabowo dalam mengelola APBN semakin terbatas mengingat alokasi dana akan digunakan untuk membayar cicilan utang beserta bunga.
Tahun depan saja, pemerintah harus melunasi utang yang jatuh tempo mencapai Rp 800,33 triliun, belum termasuk beban bunga utang yang juga harus ditanggung.
Dalam Rancangan APBN 2025, pemerintah bermaksud mengalokasikan Rp 552,9 triliun khusus untuk membayar bunga utang.
Angka ini meningkat 10,8 persen dari tahun sebelumnya, bahkan melampaui alokasi belanja subsidi yang tercatat hanya sebesar Rp 309,1 triliun.
Pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp 2.490 triliun dari total APBN yang direncanakan sebesar Rp 3.613 triliun pada tahun 2025.
Namun, dengan utang dan bunga utang yang mencapai lebih dari Rp 1.350 triliun, Prabowo tidak akan memiliki ruang untuk pengeluaran yang berlebihan.
Rencana menambah utang sebesar Rp 775,9 triliun untuk melunasi utang jatuh tempo justru menghantar pada situasi "gali lubang tutup lubang," di mana utang baru hanya digunakan untuk membayar utang lama.
Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kondisi tersebut adalah kebijakan pemerintah dalam memberikan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) yang tinggi.
Pada masa pertama pemerintahan Jokowi, suku bunga rata-rata SBN mencapai 7,7 persen, lebih tinggi dibanding negara-negara tetangga yang menghadapi risiko global yang sama, seperti Thailand, Malaysia, Filipina, dan Vietnam.
Sebagian besar komposisi utang pemerintah pada Juli 2024 berasal dari SBN domestik, dengan proporsi 70,49 persen.
Sementara itu, utang baru yang direncanakan pada 2025 sebesar Rp 775,9 triliun juga sebagian besar berupa SBN.
Dalam RAPBN 2025, asumsi suku bunga SBN bertenor 10 tahun dipatok sebesar 7 persen atau lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
Hal ini diperkirakan akan memperbesar beban bunga, di mana kumulasi bunga utang dari 2015 hingga 2023 saja mencapai Rp 2.569,4 triliun.
Rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang dijadikan tolok ukur posisi utang negara dianggap tidak lagi memadai dan memberikan rasa aman yang semu.
Warisan Buruk
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) melontarkan kritik tajam terhadap Presiden Jokowi yang dianggap meninggalkan "gunung utang" untuk presiden terpilih Prabowo.
Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment INDEF, Ariyo DP Irhamna mencatat lonjakan besar dalam pembayaran bunga utang pemerintah sejak 2022.
Menurutnya, hal ini menjadi peringatan serius karena pembayaran bunga utang kini lebih besar daripada belanja pegawai.
"Ini adalah tanda bahaya bagi pemerintah. Pembayaran bunga utang sudah lebih besar daripada belanja pegawai sejak 2022," jelas Ariyo dalam Diskusi Publik INDEF, Minggu (18/08/2024).
Bagi Ariyo, kondisi ini mempersempit ruang fiskal untuk pemerintahan baru di 2025, sehingga menjadi warisan buruk dari pemerintahan Jokowi kepada Prabowo.
Lebih lanjut, peneliti Center of Macroeconomics and Finance INDEF, Riza Annisa Pujarama, menyebut utang tersebut belum termasuk bunga, yang pada 2025 diproyeksikan mencapai Rp 552,85 triliun.
Dengan demikian, total utang jatuh tempo beserta bunganya yang harus dibayar pada 2025 mencapai Rp 1.353,1 triliun.
Riza memperingatkan, semakin tinggi pembiayaan utang, maka bunga yang harus dibayar akan semakin membengkak sehingga membatasi ruang fiskal untuk manuver anggaran pemerintah di masa depan.
Lebih jauh, Riza juga mengkritik RAPBN 2025 yang masih mengandalkan utang, dengan defisit APBN yang melebar hingga 2,53 persen atau Rp 616,2 triliun.
"Pada APBN 2024, defisitnya ditargetkan 2,29 persen, tetapi dalam outlook naik menjadi 2,7 persen. Kita masih sangat bergantung pada utang," tegas Riza.
Sebagai perbandingan, Riza menjelaskan bahwa biaya utang Indonesia ( biaya pinjaman ), termasuk salah satu yang tertinggi di Asia.
Sementara di ASEAN, Indonesia mencatatkan biaya utang tertinggi dengan biaya pinjaman sebesar 6,7 persen, hanya kalah dari India yang mencatatkan 6,8 persen.
“Hal ini akan semakin memberatkan pemerintah dalam menarik utang di masa mendatang,” lanjut Riza.
Terpisah, Ekonom dan Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN), Dradjad Wibowo, juga menyoroti kebijakan Jokowi yang lebih memilih mengambil utang untuk menggenjot pembangunan infrastruktur daripada mengoptimalkan penerimaan negara dari sumber lain.
“Pada pemerintahan Pak Jokowi, pembangunan infrastruktur memang digenjot, tapi dananya lebih banyak berasal dari utang daripada penerimaan negara,” ungkap Dradjad, Kamis (19/09/2024).
Dengan jatuh tempo utang pada tahun 2025, Dradjad memperingatkan bahwa pemerintah kemungkinan besar akan meningkatkan pungutan dari masyarakat untuk melunasi utang tersebut.
Salah satu langkah yang disebutkan adalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, serta upaya pengumpulan dana dari BPJS dan dana pensiun.
“Ketika jatuh tempo tiba pada tahun 2025, pemerintah harus segera membayar. Salah satu jalan tercepat adalah dengan menarik pungutan lebih banyak dari masyarakat,” jelas Dradjad.
Dengan kata lain, utang yang diwariskan pemerintah Jokowi akan menjadi tanggungan bersama dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Untuk menghindari krisis tersebut, pemerintah Prabowo menuntut penerapan kebijakan penghematan dengan menghindari program-program yang tidak mendesak, termasuk program warisan Jokowi.
Penyisihan yang diperlukan dalam mengalokasikan anggaran negara guna memastikan setiap kebijakan yang diambil memiliki dampak nyata dalam menghadapi tantangan ekonomi.
Editor: Defri Ngo