PARBOABOA, Medan – Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan sudah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. Dalam peraturan ini, praktik aborsi diperbolehkan dengan catatan tertentu.
Misalnya pada Pasal 116 disebutkan “Setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali atas indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana.”
Namun, pada Pasal 118 disebutkan bahwa kehamilan akibat pemerkosaan atau kekerasan seksual harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter atas usia kehamilan sesuai dengan kejadian tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan.
Ditambah adanya keterangan penyidik mengenai adanya dugaan perkosaan dan/atau kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan.
Sementara itu pada Pasal 119 Ayat 1 dituliskan bahwa, “Pelayanan aborsi diperbolehkan hanya dapat dilakukan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut yang memenuhi Sumber Daya Kesehatan sesuai standar yang ditetapkan oleh Menteri.”
Pasal 119 Ayat 2 dituliskan bahwa, “Pelayanan aborsi hanya dapat dilakukan oleh Tenaga Medis dan dibantu oleh Tenaga Kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.”
Selain itu, pada Pasal 120 Ayat 1 disebutkan “Pelayanan aborsi diberikan oleh tim pertimbangan dan dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan.”
Pada Ayat 2 disebutkan, “Tim pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan pertimbangan dan keputusan dalam melakukan pelayanan aborsi karena adanya kehamilan yang memiliki indikasi kedaruratan medis dan/atau kehamilan akibat tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain.”
Terakhir, pada Ayat 3 Pasal 121 dituliskan, “Dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas melakukan pelayanan aborsi karena adanya kehamilan yang memiliki indikasi kedaruratan medis dan/atau kehamilan akibat tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain.”
Praktisi Hukum yang juga aktivis perempuan, Siska Barimbing mengatakan aturan tersebut merupakan salah satu yang diperjuangkan oleh para aktivis perempuan selama ini.
Peraturan ini sangat baik sekali, khususnya diperbolehkannya aborsi yang dilakukan oleh korban pemerkosaan.
Menurutnya, selama ini hukum di Indonesia tidak memperbolehkan adanya aborsi yang tertuang dalam Undang-Undang Kesehatan.
“Ini peraturan yang melindungi pilihan korban. Selama ini kan ditemukan adanya korban pemerkosaan yang hamil dan harus melahirkan anaknya,” ucap Siska Barimbing kepada PARBOABOA, Jumat (02/08/2024).
Siska Barimbing memaparkan, korban pemerkosaan sudah terguncang jiwanya ketika mengalami tindak kriminal. Ditambah dengan hamil dan melahirkan hasil pemerkosaan itu tentunya akan sangat berat bagi korban.
“Syukurlah akhirnya pemerintah mengeluarkan peraturan yang melindungi korban pemerkosaan,” ucapnya.
Siska mengatakan selama ini ia meyakini banyak korban pemerkosaan yang melakukan aborsi jika terjadi kehamilan. Akan tetapi hal itu tentunya akan kembali mengancam korban pemerkosaan atas pelanggaran Undang-Undang Kesehatan.
Dengan adanya peraturan ini, korban pemerkosaan wajib diberikan pilihan untuk tetap menjaga kehamilan atau menggugurkannya.
“Tapi ingat ya, harus diberikan pilihan dulu kepada korbannya. Tidak juga dipaksakan untuk aborsi. Ini pilihan bukan paksaan,” tegas Siska Barimbing.
Siska juga menuturkan bahwa peraturan baru ini bukan berarti bahwa aktivis perempuan dan pemerintah setuju dengan tindakan aborsi.
Akan tetapi, peraturan ini hanya berlaku bagi korban pemerkosaan yang sudah mengantongi laporan kepolisian, penyidik dan dokter.
Tentunya, hal ini agar peraturan baru itu tidak disalahgunakan oleh orang-orang tertentu. Selain itu, dengan adanya peraturan ini korban pemerkosaan juga jadi memiliki jaminan dan tidak dikriminalisasi.
“Tidak benar kalau aturan ini agar semua orang boleh aborsi. Tidak, ini untuk korban pemerkosaan dan ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh korban,” terangnya.
Adanya pro kontra di tengah masyarakat atas peraturan ini dinilai Siska sebagai kewajaran. Namun, harus diperhatikan bagaimana sangat terguncangnya seorang korban pemerkosaan. Ditambah lagi menjalani kehamilan dan melahirkan seorang anak yang memperkosanya.
Korban pemerkosaan menurut Siska Barimbing mengalami trauma yang sangat luar biasa. Bukan hanya secara fisik, namun jiwa dan psikisnya juga sangat terganggu.
Trauma itu tidak bisa disembuhkan dalam waktu singkat sebulan atau tiga bulan. Trauma yang dialami korban pemerkosaan bisa berlangsung bertahun-tahun bahkan seumur hidup. Apalagi kalau tidak ada pendampingan oleh psikolog.
Siska Barimbing yang mengaku pernah mendampingi salah satu korban pemerkosaan menceritakan bagaimana seorang korban hancur masa depannya karena tindakan kejahatan itu.
“Korban itu bahkan pernah didampingi psikolog ya. Dan setelah tiga tahun saya hubungi orang tuanya, korban sudah menikah dan bercerai karena apa, ya karena trauma. Walaupun menurut keluarga suaminya itu sangat baik, tapi dia tetap merasa trauma dengan peristiwa pemerkosaan. Bayangkan masa depannya hancur,” paparnya.
Siska Barimbing berharap masyarakat menerima peraturan ini dan berada di sisi korban agar bisa memahami bagaimana pemerkosaan bisa menjadi kejahatan yang luar biasa.
“Berdirilah di sisi korban, agar tahu bagaimana trauma dan rusaknya mental ketika mengalami pemerkosaan,” tandasnya.
Editor: Fika