PARBOABOA, Jakarta - Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menjatuhkan sanksi ringan kepada eks Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri, Irjen Napoleon Bonaparte, yang kini menjadi terpidana kasus suap dan penganiayaan.
Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan mengatakan, Napoleon hanya dikenakan sanksi berupa demosi berdasarkan hasil Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) pada Senin (28/8/2023).
Mengutip situs resmi Polri, demosi adalah memindahkan anggota polisi dari hierarki yang ia tempati ke jabatan yang lebih rendah.
"Sanksi administratif berupa mutasi bersifat demosi selama tiga tahun empat bulan terhitung semenjak dimutasikan ke Itwasum Polri," kata Ahmad dikutip pada Selasa (29/8/2023).
Selain dikenakan demosi, Napoleon mendapat sanski etik lantaran prilakunya dinyatakan sebagai perbuatan tercela. Ia juga diwajibkan untuk meminta maaf secara lisan di hadapan sidang KKEP dan secara tertulis meminta maaf kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan.
Sebelumnya, alumni Akpol 1988 itu terseret kasus hukum terkait penerimaan suap dalam pengurusan red notice untuk Djoko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra. Ia juga diduga terlibat dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait kasus tersebut.
Napoleon kemudian dijatuhi vonis 4 tahun penjara dan denda Rp100 juta, dengan substitusi kurungan 6 bulan jika denda tidak dibayarkan.
Oleh pengadilan, Napoleon terbukti bersalah dan melanggar Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah mengalami perubahan melalui UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tak hanya terjerat kasus suap, Napoleon juga melakukan penganiayaan terhadap rekan satu selnya, Muhammad Kosman alias M Kace, ketika mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Bareskrim Polri.
Pria kelahiran Sumatera Selatan itu dijatuhi hukuman 5 bulan 15 hari penjara setelah secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan penganiayaan terhadap M Kace.
Sanksi ringan yang diterima Napoleon mendapat sorotan Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto.
Bambang menduga, penyebab sanksi ringan yang diterima Napoleon karena pelanggaran dalam bentuk korupsi sudah lumrah terjadi di lingkungan Korps Bhayangkara.
"Mengapa permisifitas atau toleransi pada personel pelanggar aturan itu dilakukan, salah satu faktor penyebabnya adalah pelanggaran tersebut sudah jamak bahkan lumrah dilakukan oleh anggota kepolisian, dan tak menutup kemungkinan juga dilakukan oleh anggota KKEP sendiri," kata Bambang kepada wartawan, Selasa (29/8/2023).
Padahal, jika merujuk Peraturan Kepolisian (Perpol) 7 tahun 2022 maupun Peraturan Pemerintah (PP) 1 tahun 2003, anggota Polri yang melakukan pelanggaran pidana dan sudah berketetapan hukum serta atas pertimbangan atasan akan dikenakan sanksi administrasi berat berupa pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
Di sisi lain, Napoleon juga disebut mendapat gaji secara cuma-cuma selama 3 tahun lebih di penjara. Jika melihat peraturan kepegawaian, Napoleon sudah meninggalkan tugas kedinasan karena berada di penjara.
Bambang merasa psimis soal kemungkinan melakukan peninjauan kembali (PK) yang dilakukan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Hal itu karena Napoleon tak lama lagi akan memasuki masa pensiun.
Jejak Korupsi di Lingkaran Korps Bhayangkara
Keterangan Bambang soal korupsi yang jamak terjadi di institusi Polri, mengingatkan publik akan sejumlah perwira polisi yang pernah terjerat kasus korupsi.
Salah satu perwira Polri yang terjerat kasus korupsi adalah AKBP Bambang Kayun. Ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap pemalsuan surat perebutan hak ahli waris PT Aria Citra Mulia (ACM) pada 2016 lalu.
Kayun disebut menerima dana gratifikasi sebesar Rp50 miliar dari Emilya Said dan Herwansyah. Harta senilai Rp12,7 miliar milik Bambang akhirnya disita KPK.
Selain Kayun, sosok perwira polisi AKBP Achiruddin Hasibuan yang dipecat secara tidak hormat dari Polri, juga menjadi sorotan publik beberapa waktu lalu.
Jejak harta kekayaan Achiruddin berhasil dibongkar buntut penganiayaan yang menyangkakan anaknya. Ia terbukti membiarkan sang anak melakukan tindak kekerasan.
Di media sosial, warganet mulai mengulik harta kekayaan Achiruddin. Foto-fotonya yang memperlihatkan Harley Davidson dan Jeep Rubicon, beredar luas.
Ia kemudian diduga terlibat perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU). Hal ini dicurigai bersamaan dengan dirinya yang mungkin menerima suap dari aktivitas migas ilegal milik PT Almira.
Jauh sebelumnya, nama AKBP Raden Brotoseno sempat menjadi perbincangan publik lantaran terlibat kasus korupsi cetak sawah di Kalimantan pada 2012-2014.
Pada 2017, Raden dijatuhi hukuman lima tahun penjara. Ia kemudian dinyatakan bebas bersyarat pada 15 Februari 2020. Nasibnya tak seperti Napoleon yang lolos dari pemecatan. Dua tahun berselang usai dibebaskan, Raden dipecat secara tidak hormat.
Selain itu, dua perwira yang terlibat kasus suap adalah Komjen Purnawirawan Suyitno Landung dan Brigjen Purnawirawan Samuel Ismoko. Keduanya menerima suap pada tahun 2006 saat menangani kasus pembobolan BNI yang dilakukan oleh Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu.
Suyitno dijatuhi hukuman 1,5 tahun penjara setelah terbukti menerima mobil Nissan X-Trail dari Adrian Waworuntu. Sementara Ismoko, dijatuhi hukuman 3 tahun penjara lantaran menerima dana sebesar Rp200 juta dari BNI dan Rp50 juta dari atasannya.
Pada tahun tahun 2011 lalu, dua penyidik, yakni Kompol Arafat Enanie dan AKP Sri Sumartini terseret kasus suap. Mereka terbukti menerima suap ketika menyidik kasus Gayus Tambunan. Sri Sumartini kemudian dihukum lima tahun penjara dan Arafat dihukum dua tahun penjara.
Setahun setelah kasus yang menyeret Kompol Arafat Enanie dan AKP Sri Sumartini, publik kembali digegerkan dengan kasus korupsi pengadaan simulator SIM sebesar Rp 198 miliar.
Kasus yang terjadi pada Agustus 2012 itu menyeret mantan Kakorlantas Polri Irjen Djoko Susilo dan mantan Wakil Kakorlantas Brigjen Didik Purnomo.
Djoko kemudian dijatuhi vonis 18 tahun penjara. Kekayaan dan hak politiknya pun dicabut. Sementara Didik Purnomo, divonis 5 tahun penjara lantaran terbukti ikut bersalah dalam kasus mega korupsi itu.
Komjen Purnawirawan Susno Duadji pun sama. Ia terjerat kasus suap PT Salmah Arowana Lestari serta pemangkasan dana pengamanan Pilgub Jabar ketika menjabat sebagai Kapolda Jabar. Susno divonis 3,5 tahun penjara. setelah bebas, ia beralih profesi menjadi petani.
Model Aktivitas Korupsi di Tubuh Polri
Dalam sebuah diskusi bertajuk 'Institusi Polri, Kepemimpinan Baru Dan Masa Depan Demokrasi' pada 2021 lalu, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), M. Haripin, pernah menyoroti soal aktivitas korupsi di institusi Polri.
Menurutnya, aktivitas korupsi di lingkaran Korps Bhayangkara ini dilakukan dalam empat model, yang disebut dengan invitational edge, slippery slope, noble cause, dan predatory policing.
Model korupsi invitational edge, demikian Haripin, yakni memanfaatkan diskresi dan wewenang yang dimiliki polisi untuk memungut atau menerima uang tidak sah dari pihak lain.
Adapun slippery slope merupakan tindakan polisi dalam melakukan pungutan-pungutan kecil dan sporadis, misalnya gratifikasi, sogokan, dan hadiah. Umumnya, model korupsi tersebut bisa terjadi ketika polisi sedang mengurus laporan atau sedang dalam penyidikan.
Selanjutnya adalah noble cause. Menurut Haripin, model ini di mana polisi beralasan menerima uang atau hadiah dari pihak lain bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk satuannya dan keperluan operasional.
Model yang terakhir adalah predatory policing, yaitu tindakan penggelapan, pencurian, penyelewengan wewenang secara sistematis dan menerima suap untuk memperkaya diri sendiri, atasan atau patronnya.
Editor: Andy Tandang